Jumat, 22 Februari 2013

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=420969217989099&set=a.236839736402049.56505.100002280736188&type=1&theater

MUSTAHIQ ZAKAT DAN TATA CARA PENDRISTRIBUSIAN ZAKAT



BAB II
MUSTAHIQ DAN CARA PENDISTRIBUSIAN ZAKAT

A.    Mustahiq Zakat
            Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an Al Karim pada ayat berikut.



Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 60)                                                                       
Ayat ini dengan jelasmenggunakan kata “innama”, inimenunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya[1].
1.      Fakir
            Terdapat perbedaan interpretasi ulama fiqih dalam mendefinisikan orang fakir (al-faqr, jamaknya al-fuqara). Imam abu Hanifah berpendapat orang fakir adalah orang yang tidak memiliki penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adapun menurut jumhur ulama fakir adalah orang-orang yang tidak mempunyai harta atau penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal, dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungannya[2].

2.      Miskin
            Dalam mendefinisikan orang miskin (al-miskin, jamaknya al-masakin) pun, kedua golongan ulama diatas berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, orang miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan tetap tetapi tiddak dapat mencukupi kebutuhannya sehari-hari.
            Jumhur ulama mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang mempunya harta atau penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan diri dan tanggungannya, tetapi penghasilan tersebut tidak mencukupi.
Akan tetapi Imam Abu Yusuf dan Ibnu Qasim (w. 918 M; tokoh fiqih Mazhab Maliki) tidak membedakan secara defenitif kedua kelompok orang tersebut (fakir dan miskin). Menurut mereka, fakir dan miskin adalah dua istilah yang mengandung pengertian yang sama.
             Islam sangat memperhatikan nasib fakir dan miskin ini. Hal ini terbukti dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an dan Hdits Nabi yang menyuruh umat Islam memperhatikan nasib mereka. Bahakan Al-Qur’an memandang orang yang tidak memperhatikan nasib fakir miskin sebagai pendusta agama, sebagaimana tersebut dalam Surat Al-Ma’un ayat 1-3. Usaha-usaha Islam untuk meningkatkan kesejahteraan fakir miskin antara lain ialah dengan pemberian zakat kepada mereka.
            Dan fakir miskin adalah yang paling berhak menerima zakat diantara delapan asnaf[3].

3.      Amil zakat
            Yaitu orang-orang yang bertugas mengambil zakat dari para muzakki dan mendistribusikan kepada para mustahiq. Mereka itu adalah kelengkapan personil dan finasial untuk mengelola zakat.
a.       Termasuk dalam kewajiban imam adalah mengutus para pemungut zakat dan mendistribusikannya, seperti yang pernah dilakukan Rasulullah dan para khalifah sesudahnya.
b.      Syarat orang-orang yang dapat dipekerjakan sebagai amil pengelola zakat, adalah seorang muslim, baligh dan berakal, mengerti hukum zakat-sesuai dengan kebutuhan lapangan- membidangi pekerjaannya, dimungkinkan mempekerjakan wanita dalam sebagian urusan zakat, terutama yang berkaitan dengan wanita, dengan tetap menjaga syarat-syarat syar’i.
c.       Para amil mendapatkan kompensasi sesuai dengan pekerjaannya. Tidak diperbolehkan menerima suap, meskipun dengan nama hadiah, seperti yang diriwayatkan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari Muslim, “Sesungguhnya aku mempekerjakan kalian salah seorang di antaramu melaksanakan tugas yang pernah Allah sampaikan kepadaku, kemudian datang kepadaku dan mengatakan: ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku’, apakah ketika ia duduk di rumah ayah ibunya akan ada hadiah yang menghampirinya?”
d.      Para amil harus bersikap lunak dengan para muzakki, meyakinkan apa yang menjadi kewajibannya, mendoakannya ketika mengambil zakat, menetapkan para mustahiq, dan memberikan bagian mereka.[4]
4.      Mu’allaf
            Mu’allaf adalah orang-orang yang sedang dilunakkan hatinya untuk memeluk Islam, atau untuk menguatkan Islamnya, atau untuk mencegah keburukan sikapnya terhadap kaum muslimin, atau mengharapkan dukungannya terhadap kaum muslimin.
            Terdapat perbedaan pendapat ulama fiqih tentang bagian zakat bagi para mu’allaf setelah wafatnya Rasulullah SAW. ulama Mazhab Hanafi dan Imam Malik berpendapat bahwa mu’allaf tidak perlu lagi diberi zakat setelah wafatnya Rasulullah SAW, karena posisi dan keadaan umat Islam sudah kuat. Alasan mereka adalah praktek yang dilakukan Umar bin Khattab, Utsman bin affan, dan ali bin Abi Thalib ketika ketiganya menduduki jabatan khalifah; mereka tidak memberikan bagian zakat kepada mu’allaf. Akan tetapi jumhur ulama, termasuk al-Qadi Abdul wahab al-Maliki (ahli fiqih Mazhab Maliki) berpendapat bahwa bagian zakat untuk mu’allaf itu tetap berlaku dan diberikan kepada mereka sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan[5].

5.      Memerdekakan Budak
            Zakat dapat juga digunakan untuk membebaskan orang-orang yang sedang menjadi budak, yaitu dengan:
a.       Membantu para budak mukatab, yaitu budak yang sedang menyicil pembayaran sejumlah tertentu untuk pembebasan dirinya dari majikannya agar dapat hidup merdeka. Mereka berhak mendapatkannya dari zakat.
b.      Atau dengan membeli budak kemudian dimerdekakan
                        Pada zaman sekarang ini, sejak penghapusan sistem perbudakan di dunia, mereka sudah tidak ada lagi. Tetapi menurut sebagian madzhab Maliki dan Hanbali, pembebasan tawanan muslim dari tangan musuh dengan uang zakat termasuk dalam bab perbudakan. Dengan demikian maka mustahik ini tetap akan ada selama masih berlangsung peperangan antara kaum muslimin dengan musuhnya. Bahkan Mahmud Syaltut (tokoh fiqih Mesir) menyatakan bahwa bagian zakat untuk memerdekakan budak bdisa dipergunakan untuk menghindari suatu Negara dari perbudakan ekonomi, cara berpikir dan politik[6].
6.      Orang-orang yang berutang
            Al-Gharim adalah orang yang berhutang dan tidak mampu membayarnya. Ada dua macam jenis gharim, yaitu:
a.       Al-Gharim untuk kepentingan dirinya sendiri, yaitu orang yang berhutang untuk menutup kebutuhan primer pribadi dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, seperti rumah, makan, pernikahan, perabotan. Atau orang yang terkena musibah sehingga kehilangan hartanya, dan memaksanya untuk berhutang. Mereka dapat diberi zakat dengan syarat:
1)      membutuhkan dana untuk membayar hutang
2)      hutangnya untuk mentaati Allah atau untuk perbuatan mubah
3)      hutangnya jatuh tempo saat itu atau pada tahun itu
4)      tagihan hutang dengan sesama manusia, maka hutang kifarat tidak termasuk dalam jenis ini, karena tidak ada seorangpun yang dapat menagihnya.
            Al-Gharim diberikan sejumlah yang dapat melunasi hutangnya.
b.      Al-Gharim untuk kemaslahatan orang lain, seperti orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang muslim yang sedang berselisih, dan harus mengeluarkan dana untuk meredam kemarahannya. Maka, siapapun yang mengeluarkan dana untuk kemaslahatan umum yang diperbolehkan agama, lalu ia berhutang untuk itu, ia dibantu melunasinya dari zakat.

7.      Sabilillah
            Ibnul Atsir berkata, kata Sabilillah berkonotasi umum, untuk seluruh orang yang bekerja ikhlas untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban, yang sunnah dan kebaikan-kebaikan lainnya. Dan jika kata itu diucapkan, maka pada umumnya ditujukan untuk makna jihad. Karena banyaknya penggunaannya untuk konotasi ini maka sepertinya kata fisabilillah, hanya digunakan untuk makna jihad ini (lihat Kitab An-Nihayah Ibnu Atsir).
            Menurut empat madzhab, mereka bersepakat bahwa jihad termasuk ke dalam makna fi sabilillah, dan zakat diberikan kepadanya sebagai personil mujahidin. Sedangkan pembagian zakat kepada selain keperluan zakat, madzhab Hannafi tidak sependapat dengan madzhab lainnya, sebagaimana mereka telah bersepakat untuk tidak memperbolehkan penyaluran zakat kepada proyek kebaikan umum lainnya seperti majid, madrasah, dan lain-lain.
            Pandapat lain. Imam Ar Razi mengatakan dalam tafsirnya, “Sesungguhnya teks zhahir dari firman Allah wa fii sabiilillah (وفي سَبيل الله) tidak hanya terbatas pada para tentara saja. Demikianlah yang dirilis oleh Al-Qaffal dalam tafsirnya dari sebagian ulama fiqih, bahwa mereka memperbolehkan penyaluran zakat kepada seluruh proyek kebaikan seperti mengkafani mayit, membangun pagar, membangun masjid, karena kata fi sabilillah berlaku umum untuk semua proyek kebaikan.
            As-Sayyid Siddiq Hasan Khan berkata, sabilillah artinya seluruh jalan yang menuju kepada Allah. Sedangkan jihad –meskipun jalan terbesar kepada Allah– tetapi tidak ada dalil yang mengkhususkan pembagian zakat hanya kepada mujahid. (lihat Ar-Raudhatun Nadiyyah).
Rasyid Ridha berkata, sabilillah di sana adalah kemaslahatan umum kaum muslimin yang digunakan untuk menegakkan urusan dunia dan agama, bukan pada individunya. Yang utama dan pertama adalah persiapan perang seperti pembelian senjata, perbekalan tentara, alat transportasi, pemberangkatan pasukan… dan termasuk juga dalam hal ini adalah mendirikan rumah sakit, membuka jalan, mempersiapkan para dai yang menyerukan Islam, mengirimkan mereka ke daerah-daerah kafir (lihat Tafsir Al-Manar).
            Syeikh Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam Aqidah dan Syari’ah dalam hal ini menyatakan, sabilillah adalah seluruh kemaslahatan umum yang tidak dimiliki oleh seseorang dan tidak memberi keuntungan kepada perorangan. Lalu dia menyebutkan, setelah pembentukan satuan perang adalah rumah sakit, jalan, rel kereta, dan mempersiapkan para dai.
            Syeikh Hasanain Makhluf, Mufti Mesir, berfatwa tentang kebolehan menyalurkan zakat kepada seluruh organisasi kebaikan Islam, bersandar kepada ungkapan Ar-Razi dari Al-Qaffal dan lain-lain dalam memaknai kata fi sabilillah.
            Dalam Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb berkata, fi sabilillah adalah jalan luas yang mencakup seluruh kemaslahatan jama’ah yang menegakkan kalimat Allah.
            Kesimpulannya, yang rajah (kuat) bahwa yang dimaksud dari firman Allah “fisabilillah” adalah jihad seperti yang dimaksudkan oleh jumhurul ulama. Akan tetapi bentuk jihad pada masa sahabat dan para ulama sesudahnya terbatas pada berperang. Karena hukum Allah sudah berdiri tegak dan Negara Islam berwibawa. Adapun pada zaman sekarang ini, bentuk jihad itu tampil dengan warna yang bermacam-macam untuk menegakkan agama Allah, menyampaikan dakwah dan melindungi umat Islam. Kami berpendapat bahwa sangat mungkin untuk menyalurkan zakat kepada lembaga-lembaga modern seperti ini yang masuk ke dalam bab fisabilillah. Yaitu jalan yang digunakan untuk membela agama Allah dan menjaga umat Islam, baik dalam bentuk tsaqafah (wawasan), pendidikan, media, atau militer, dst. Dan perlu ditegaskan di sini bahwa peperangan yang boleh dibiayai dengan zakat adalah perang fisabilillah di bawah bendera Islam, untuk membela kepentingan Islam dan dibawah komando pemimpin Islam.

8.      Ibnu sabil
            Menurut jumhur ulama, ibnu sabil adalah musafir yang melakukan suatu perjalanan bukan untuk maksiat dan dalam perjalanan itu mereka kehabisan bekal. Yusuf al-Qardawi, setelah mendiskusikan beberapa ayat, mengatakan bahwa Al-qur’an meneyebutkan yang disebut “perjalanan” yang disuruh dan dirangsang oleh Allah SWT itu adalah:
a.       Orang-orang yang melakukan perjalanan untuk mencari rezeki (QS: 67: 15),
b.      Para penuntut ilmu (QS: 29:20, 3:137, dan 22: 46),
c.       Berjihad/perang dijalan Allah SWT (QS: 9: 41 – 42 dan 121),
d.      Melaksanakan haji ke Baitullah (QS: 3:97 dan 22: 27 – 28).
                       
                        Oleh sebab itu Yusuf al-Qardawi berpendapat bahwa ibnu sabil dalam kaitannya dengan zakat adalah seluruh bentuk perjalanan yang dilakukan untuk kemaslahatan umum yang manfaatnya kembali pada agama Islam atau masyarakat Islam.  
Ibnu sabil yang berhak menerima zakat menurut ulama fiqih haru memenuhi syarat:
a.       Dalam keadaan membutuhkan,
b.      Bukan perjalanan maksiat.
      

B.     Pendistribusian Zakat
              Persoalan utama yang dibahas ulama fiqih dalam masalah ini adalah boleh tidaknya memberikan zakat kepada salah satu golongan dari delapan golongan di atas. Dalam persoalan ini terdapat perbedaan pendapat para ahli fiqih.
  1. Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat harus dibagikan kepada delapan kelompok itu dengan merata, kecuali jika salah satu kelompok itu tidak ada, maka zakat diberikan kepada ashnaf yang masih ada. Jika muzakki itu sendiri yang membagikan langsung zakatnya, maka gugur pula bagian amil.
  2. Madzhab Hanafi, Hanbali, dan Maliki berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada sebagian ashnaf, tidak kepada seluruh ashnaf yang ada. Bahkan mereka memperbolehkan pemberian zakat hanya kepada salah satu ashnaf saja sesuai dengan kondisi. Inilah pendapat mayoritas ulama dan pendapat yang paling kuat dengan memperhatikan hal-hal berikut ini:
a.       Tidak diperbolehkan menghilangkan hak salah satu mustahiq tanpa ada sebab, jika imam yang melakukan pembagian dan jumlah zakat cukup banyak.
b.      Diperbolehkan memberikan zakat hanya kepada satu ashnaf saja jika ada kemaslahatan yang dapat dipertannggungjawabkan, seperti ketika perang yang mengharuskan zakat untuk pembiayaan mujahid di medan perang.
c.       Ketika membagikan zakat kepada semua ashnaf secara menyeluruh tidak diharuskan membagi rata kepada mereka. Dan yang diwajibkan adalah memberikan bagian pada masing-masing sesuai dengan jumlah dan kebutuhan.
d.      Selalu diperhatikan bahawa kelompok prioritas adalah fakir miskin. Kelompok yang diulang-ulang dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka tidak diperbolehkan menghalangi hak mereka dari zakat, kecuali karena kondisi darurat sesaat.
e.       Jika muzakki yang membagikan langsung zakatnya dan jumlah zakatnya kecil, boleh diberikan kepada satu kelompok dan satu orang saja untuk mencapai tujuan zakat, yaitu menutup kebutuhan.
f.       Jika imam yang membagikan, maka bagian amilin tidak boleh lebih banyak dari seperdelapan, menurut Imam Syafi’i, agar zakat tidak habis di tangan para pegawai saja[7].


[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, Asy Syamilah, index “zakat”, point 156.
[2]  Inseklopedi Hukum Islam, jilid 6 cet ke-5 Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve 2001 hlm. 1996.
[3] Masjfuk Zuhdi, Masailul fiqiyah, Jakarta, Cv Haji Masagung, 1994. hlm. 262-263.
[5]  Op. cit. hlm. 1997.
[6]  Ibid.
[7] Op.cit, http://www.dakwatuna.com



MAKALAH
TENTANG
“PENDUSTA AGAMA”
Di Presentasikan Pada Mata Kuliah
TAFSIR II SEMESTER V

DOSEN PEMBIMBING: H. NASBIN PANYAHATAN, LC, MA

Edisi Revisi
DISUSUN OLEH: DESRI KURNIA
NO.BP: 210.794


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
YAYASAN DAKWAH ISLAMIYAH (YDI) PASAMAN
TAHUN AKADEMIK 2012/2013
KATA PENGANTAR
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيمِ     
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah SWT, berkat rahmat dan karunia dari Allah SWT penulis dapat mempersembahkan makalah sederhana ini kehadapan kita semua. Shalawat berserta salam selalu tercurah buat Baginda Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa risalah Islam dari sisi Allah sebagai penunjuk jalan hidup sekalian ummat manusia.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan ide dan gagasan serta bimbingan terhadap penyelesaian makalah ini. Terutamasekali kepada dosen pembimbing mata kuliah Tafsir II ini, dan juga teman-teman seperjuangan di lokal I semester V PAI. Karena tanpa adanya bimbingan dan dukungan dari Bapak Dosen dan teman-teman, sulit rasanya untuk menyelesaikan makalah ini.
Kemudian dari pada itu, penulis berharap semoga kiranya makalah ini akan bermanfaat bagi para pembaca, terutama bagi penulis sendiri dalam menambah wawasan keislaman kita. Dengan demikian akan bertambah pula nilai keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.
Sebagai insan yang dhoif, penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritikan dan saran yang membangun dari para pembaca demi untuk perbaikan dimasa yang akan datang.

Wassalam
Lubuk Sikaping, Januari 2013
Penulis

PEMBAHASAN

A.    QS Al-Ma’un dan Terjemahan
أَرَءَيْتَ الَّذِى يُكَذِّبُ بِالدِّين(1) فَذَلِكَ الَّذِى يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلاَ يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ(3) فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ(4) الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَـتِهِمْ سَاهُونَ(5) الَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ(6) وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)
1.Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? 2.Itulah orang yang menghardik anak yatim,3.dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. 4.Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5.(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,6.orang-orang yang berbuat riya, 7.dan enggan (menolong dengan) barang berguna.

B.     Ta’rif Istilah
1.      Anak yatim
Anak yatim adalah orang yang telah kehilangan orang tuanya yang berperan sebagai sandaran hidupnya, sedangkan ia masih belum baligh, dan belum mampu mengurus urusannya sendiri.
2.      Miskin
Kata “miskin” mencakup semua orang yang tidak berdaya karena sakit, usia renta, atau menjadi korban perang, yang tidak mampu bekerja, atau mampu tetapi hasilnya tidak mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Mereka punya sedikit harta, tetapi masih memerlukan bantuan. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang mempunya harta atau penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan diri dan tanggungannya, tetapi penghasilan tersebut tidak mencukupi.
3.      Riya
Riya adalah suatu sikap dimana seseorang beribadah bukan senantiasa mengharap ridho Allah, namun ia beribadah hanya mengahrapkan pujian dari orang lain.
4.      Lalai
Lalai berarti seseorang yang mengerjakan suatu pekerjaan tetapi ia tidak mengerjakannya dengan sepenuh hati, atau bahkan ia tidak menghadirkan hatinya sama sekali.

C.    Tafsir
Sebab turunya surah ini ialah berkenaan degan orang-orang munafik yang memamerkan shalat kepada orang yang berirman; mereka melakukan shalat dengan riya’, dan meninggalkan apabila tidak ada yang melihatnya serta menolak memberiakn bantuan kepada orang miskin dan anak yatim ( Riwayat ibnu Mudzir ).
Surah ini diawali dengan pertanyaan yang mengarah kepada setiap orang yang bias melihat, agar menyaksikan: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?” dan menantikan orang yang mendengar pertanyaan ini untuk melihat kemana isyarat itu diarahkan dan kepada siapa ditujukan? Siapakah orang yang mendustakan agama dan siapakah orang yang ditetapkan Al-Qur’an sebagai pendusta agama itu. Tiba-tiba jawaban itu menyatakan:[1]
فَذَلِكَ الَّذِى يَدُعُّ الْيَتِيمَ وَلاَ يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ
“itulah orang yang menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan member makan orang miskin”
Ustadz M Quraish Shihab dalam Tafsir Al-quran Al karim menyatakan ayat tersebut tidak berbicara tentang kewajiban ”memberi makan” orang miskin, tapi berbicara ”menganjurkan memberi makan”. Itu berarti mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun dituntut pula untuk berperan sebagai ”penganjur pemberi makanan terhadap orang miskin” atau dengan kata lain, kalau tidak mampu secara langsung, minimal kita menganjurkan orang-orang yang mampu untuk memperhatikan nasib mereka.
Anak-anak yatim dan faqir miskin adalah bagian dari kelompok masyrakat yang sangat dicintai oleh Rusulullah SAW, bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan (Rusuluallah) sangat dekat dengan mereka. Perhatian pada mereka sangat diutamakan, sebagaimana tersebut dalam sebuah ayat:
وَيَسْـَلُونَكَ عَنِ الْيَتَـمَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَنُكُمْ
Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim katakanlah; Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu”( Al-Baqarah: 220 ).
Perkataan "yahudldlu" yang diterjemahkan dengan "berjuang" di sini mempunyai asal arti "menganjurkan dengan kuat". A. Hassan dalam Al-Furqan, menerjemahkan perkataan itu dengan "menggemarkan," Departemen Agama menerjemahkan dengan "menganjurkan" sedangkan Mahmud Yunus dalam tafsir Qur'an Karim menggunakan perkataan "menyuruh". Dan Muhammad Asad, dalam The Message of the Qur'an, menerjemahkannya dalam bahasa Inggeris dengan "feels no urge" (tidak merasakan adanya dorongan), karena baginya perkataan "yahudldlu" mempunyai makna "mendorong diri sendiri" (sebelum mendorong orang lain).
Jadi, perkataan "yahudldlu" menunjuk pada adanya komitmen batin yang tinggi, yakni usaha mengangkat dan menolong nasib kaum miskin. Berarti bahwa indikasi ketulusan dan kesejatian dalam beragama ialah adanya komitmen sosial yang tinggi dan mendalam kepada orang bersangkutan.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Hindarilah tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah SAW apakah itu?” Rasulullah SAW bersabda: 1. Syirik, 2. Berbuat sihir, 3. Membunuh orang yang diharamkan oleh Allah untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang benar (menurut ajaran agama), 4. Memakan riba, 5. Memakan harta anak yatim, 6. Berpaling di waktu peperangan (bukan untuk bersiasat akan tetapi lantaran takut kepada musuh), 7. menuduh zina kepada wanita mukmin yang sudah bersuami yang tidak terlintas di hatinya untuk menjalankan kejelekan

Firman Allah SWT:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَـتِهِمْ سَاهُونَ            
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya.
Kata wail bermakna: Siksa bagi mereka. Sebagian ahli tafsir berkata: mereka adalah orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya, dan mereka tidak menunaikan shalat kecuali setelah keluar waktunya. Diriwyatkan oleh Abu Ya’la di dalam musnadnya, ia berkata: maksudnya adalah menyia-nyiakan waktu shalat, dia lalai sehingga menyia-nyiakan waktu shalat.[2]
Kata Saad bin Abi Waqosh: Aku telah bertanya kepada Rasulullah tentang mereka yang melalaikan sholatnya, maka beliau menjawab Yaitu Mengakhirkan waktu, yakni mengakhirkan waktu sholat.
Dan ulama yang lain berkata: Mereka meninggalkan shalat dan tidak pula menunaikannya. Penafsiran ini datang dari Ibnu Abbas. Dan ada yang berkata: Mereka adalah orang-orang munafiq yang meninggalkan shalat secara rahasia dan menjalankannya secara terang-terangan saja.[3]
Ibnu Katsir rahimhullah berkata: Maksudnya adalah mereka selalu atau biasanya meninggalkan shalat sampai akhir waktunya, atau mereka tidak mengerjakan shalat dengan sempurna baik dalam rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, mereka tidak mengerjakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan, atau mereka tidak khusyu dalam menjalankan shalat dan tidak pula merenungi makna yang terkandung di dalamnya. Makna lafaz yang disebutkan oleh Al-Qur’an tersebut mencakup semua makna ini. Maka setiap orang yang memiliki sifat seperti ini berarti dia termasuk dalam bagian yang disebutkan di dalam ayat di atas, dan barangsiapa yang memiliki prilaku seperti semua prilaku yang disebutkan di dalam penafsiran ayat di atas maka sempurnalah bagiannya dalam keburukan tersebut. Yaitu kesempurnaan nifaq yang bersiat amali, sebagaimana disebutkan di dalam riwayat Muslim dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Itulah shalatnya orang munafiq, duduk menunggu bulan, sehingga apabila telah sampai pada dua tanduk setan maka diapun bangkit dan shalat dengan cepat empat rekaat, tidak menyebut Allah padanya kecuali sedikit”.[4]
Allah SWT berfirman:
إِنَّ الْمُنَـفِقِينَ يُخـدِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى الصَّلَوةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآءُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلاَّ قَلِيلاً
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.(QS. Al-Nisa’: 142).

Allah SWT berfirman;
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُواْ الصَّلَـوةَ وَاتَّبَعُواْ الشَّهَوَتِ فَسَوْفَ يَلْقُونَ غَيّاً
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS. Maryam: 59).
Para ulama mengomentari ayat diatas dengan tafsirnya yang terdapat dalam Ibnu Katsir sebagai berikut :
1.      Muhammad bin Kaab Al Quraan Al Qurdly, dan Ibnu Zaid bim Aslam dan Sady yang disebut meremehkan sholat adalah Meninggalkan Sholat ( Tidak sholat )
2.      Al Auz, Ibnu Maasud, Ibnu jarir, Ibnu Juraih meremehkan sholat adalah meremehkan waktu
3.      Al Hasan Al-Bashri, meremehkan sholat adalah meninggalkan Masjid[5]
Firman Allah SWT:
                                                                                    الَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
 “orang-orang yang berbuat ria. dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
Artinya mereka tidak berbuat ihsan dalam beribadah kepada Tuhan mereka dengan mewujudkan keikhlaskan dalam beribadah kepada Allah SWT, dan tidak pula berbuat ihsan kepada makhluk-Nya walaupun dengan memberikan pinjaman barang yang bisa dimanfaatkan, dan bisa digunakan untuk keperluan tertentu padahal wujud barang tersebut tetap serta akan dikemblikan kepada mereka selaku pemilik, seperti meminjam bejana, ember dan parang. Maka orang yang bertipe seperti ini akan lebih gampang dalam meninggalkan zakat dan ibadah lainnya.

D.    Pesan-Pesan yang Terkandung Dalam Ayat

1.      Pesan keimanan
Yang mana dalam Surah ini Allah SWT memberikan sindiran bagi orang-orang yang bereiman agar mereka sungguh-sungguh dalam beribadah kepada-Nya. Dan anjuran untuk ikhlas dalam beramal dan waspada terhadap riya dan sum’ah.
2.      Pesan pendidikan
Pesan pendidikan yang terdapat dalam ayat ini adalah, ketika Allah SWT mendidik kita untuk senantiasa mau berbagi dengan saudara-saudara kita khususnya mereka yang membutuhkan uluran tangan kita.
3.      Pesan moral
Adapu pesan moral dalam surah ini adalah, kita disuruh oleh Allah untuk menghargai sesame saudara kita, dan jangan menganggap remeh kepadanya, terutama kepada anak-anak yatim dan fakir miskin.
4.       Pesan social
Kita dianjurkan untuk terus peduli terhadap sesame muslim khususnya kepada anak-anak yatim dan fakir miskin.


DAFTAR PUSTAKA
Ø  Musnad Abu Ya’la
Ø  Qutb, Sayyid, 2006, Terjemahan Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an, Jakarta: Robbani Press.
Ø  Shahih Muslim
Ø  Tafsir Ibnu Katsir


[1]  Sayyid Qutb,  Terjemahan Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an, (Jakarta: Robbani Press, cet-ke-2, 2006)
[2] Abu Ya’la di dalam musnadnya: 1/336 no: 700 dan Al-Munziri berkata di dalam kitab       targib wat tarhib: 1/441; sanadnya hasan.
[3] Lihat tafsir Ibnu Katsir: 4/554
[4] HR. Muslim: no: 622
[5] Lihat Tafsir Ibnu katsir: 3 / 21