HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU’
Disusun oleh :Desri Kurnia, Dkk.
Wudhu’
adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan sholat. Sah atau
tidak sholat, sangat bergantung pada wudhu’ disamping syarat-syarat lainnya.
Oleh karena itu masalah wudhu’ ini supaya
diperhatikan benar, sehingga sholat yang dikerjakan tidak sia-sia.
Mengenai
hal-hal yang membatalkan wudhu’, terdapat perbedaan pendapat para ulama
mujtahid. Berikut adalah hal-hal yang membatalkan wudhu’, dan ikhtilaf ulama
didalamnya:
A. KELUAR
SESUATU DARI DUA JALAN
Keluar sesuatu dari dua jalan (qubul=
kemaluan dan dubur= pelepasan), seperti buang
air kecil, buang air besar, keluar madzi (air kuning encer yang biasanya
keluar dari qubul ketika seseorang merasakan nikmat), wadzi (air kental dan
putih, serupa dengan air mani, biasanya keluar setelah kencing), mani, angin
dan lain-lain[1].
Sebagai
dalilnya adalah firman Allah:
“…atau kembali dari tempat buang air…”
(An-Nisa’: 43)
Rasulullah
SAW. bersabda:
“Allah tidak menerima
sholat seseorang apabila dia berhadats (keluar sesuatu dari qubul atau dubur),
sebelum dia berwudhu’” (HR: Muttafaq Alaih).
Nabi juga memerintahkan berwudhu’ kepada
wanita yang sedang istihadhah ( semacam darah penyakit) pada tiap-tiap akan
sholat setelah membersihkannya, dan tidak usah mandi.
a. Menurut
imam Hanafi, apapun yang keluar dari qubul dan dubur, membatalkan wudhu’,
baik yang biasa mauopun yang tidak
biasa.
b. Menurut
Malikiyah, bahwa batu kecil, ulat, cacing, darah dan nanah yang keluar dari
qubul dan dubur tidak membatalkan wudhu’
dengan ketentuan, batu kecil (batu ginjal), ulat dan cacing itu berasal dari
dalam perut. Namun apabila batu atau ulat itu tidak berasal dari dari dalam
perut , seperti tertelan, kemudian keluar melalui dubur, ia membatalkan wudhu’.
c. Syafi’iyah
berpendapat, keluar mani tidak sampai
membatalkan wudhu’,. Namun wajib mandi.
d. Hanabilah
berpendapat, bahwa apabila seseorang terus menerus berhadats, seperti air
kencing terus-menetes, atau sebentar-sebentar menetes, tidak membatalkan wudhu’
asal setiap sholat melakukan wudhu’.
B. HILANG
AKAL
Hilang akal bisa disebabkan gila, ayan,
pingsan, mabuk, minum obat tidur atau tidur nyenyak sehingga hilang kesadaran
seseorang.
Mengenai hilang akal karena gila,
pingsan dan mabuk telah sepakat ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan
Hanabilah membatalkan wudhu’, karena seseorang tidak tahu apakah ia berhadats
atau tidak, seperti keluar angin dan sebab lainnya yang membatalkan wudhu’.
Mereka berbeda pendapat mengenai orang yang tidur.
a. Hanafiyah
berpendapat, bahwa tidur itu sendiri tidak membatalakan wudhu’ tetapi cara
orang itu tidur yang perlu diperhatikan.
1) Ia
idur dengan berbaring miring
2) Ia
tidur telentang di atas punggungnya
3) Ia
tidur diatas salah satu pangkal pahanya
Wudhu’ seseorang menjadi batal, apabila
dia tidur seperti yang disebutkan diatas. Sebagaimana sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya
wudhu’ itu tidak wajib kecuali bagi orang yang tidur dalam keadaan berbaring,
karena bila dia tidur berbaring, maka menjadi lunaklah (ruas-ruas)
persendiannya.” (HR: Abu Daud, Tarmidzi dan Ahmad)
Hanafiyah menyamakan tidur berbaring
dengan tidur telentang dan tidur di atas salah satu pangkal paha, karena
persendiannya lunak, dan tidak dapat mengontrol apakah ia buang angin atau
tidak.
Kemudian mereka mengatakan wudhu’
seseorang tidak batal, sekiranya dia tidur duduk tegak tidak bergeser dari
tempat duduknya, sejak dari mulai tidur sampai terjaga. Hal ini didasarkan
keyakinan, bahwa persendiannya tidak merenggang yang memungkinkan dia berhadats
(buang angin).
b. Malikiyah
berpendapat, bahwa tidur itu dapat membatalkan wudhu’ apabila seseorang
tidurnya nyenyak, baik sebentar bmaupun lama, baik dalam keadaan berbaring,
duduk, maupun sujud. Wudhu’ tidak batal, apabila seseorang tidur tidak nyenyak
(tidur ringan).
c. Syafi’iyah
berpendapat bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila orang itu tidak mantap
duduk di tempatnya. Apabila duduknya mantap, tidak bergeser dan tidak renggang,
maka wudhu’nya tidak batal. Demikian juga, wudhu’ seseorang tidak batal,
sekiranya hanya sekedar mengantuk saja dan suara di sekitar masih disengarnya,
walaupun tidak memahamminya dengan sempurna.
d. Hanabilah
berpendapat, bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila dia tidur dalam
keadaan bagaimanapun.
C. BERSENTUHAN
LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN
Sentuhan
dalam bahasa Arab disebut dan
Oleh syafi’iyah dan hanabilah kedua
istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama. Berbeda dengan Hanafiyah dan
Malikiyah, kedua istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri.
a. Hanafiyah
berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan tidak
membatalkan wudhu’.
b. Hanafiyah
mendaarkan mazhab mereka kepada hadits Aisyah:
“Rasulullah
mencium sebagian istri-istrinya, lalu sholat tanpa wudhu’ lagi”
(HR: Ahmad dan empat Ahli Hadits).
Juga berdasarkan hadits Aisyah:
“Sesunggguhnya Rasulullah SAW menciumnya dan saat itu beliau sedang puasa
lalu beliau bersabda: ciuman ini tidak membatalakan wudhu’ dan tidak pula
membatalakan puasa”. ( Dikeluarkan oleh Ishak bin Rahawaih
dan Bazzar)
Mengenai
firman Allah dalam surat an-Nisa’: 43 yang berbunyi:
(atau jika kamu menyentuh wanita).
Maksudnya
adalah “bersenggama”, kata kiasan dari (sentuh
menyentuh). Pengertian ini diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas. Berdasarkan
berita yang diterima dari Ubaid bin Humaid, bahwa Ibnu Abbas menafsirkan kata
dalam ayat tersebut dengan “bersenggama=bersetubuh”.[2]
Malikiyah
berpendapat bahwa apabila seseorang menyentuh orang lain dengan tangannya atau
dengan angota badan lainnya, maka wudhu’nya batal dengan beberapa syarat:
Persyaratan
bagi yang menyentuh adalah , dia suadah baligh dan bermaksud merasakan nikmat
atau ada rangsangan dalam dirinya. Orang yang disentuh, wudhu’nya menjadi batal
, apabila kulitnya disentuh tanpa ada
batas penghalang seperti kain, ataupun batasnya ada tetapi terlalu tipis. Persyaratan
lain bagi yang disentuh adalah oadalah orang yang dapat mengundang syahwat atau
ada rangsangan, bersentuhan dengan gadis
kecil tidak membatalkan wudhu’. Demikian juga wudhu’ tidak batal jika menyentuh
wanita tua yang tidak mengundang syahwat.
Jadi
hal yang menjadi persoalan inti dalam mazhab Malik ini adalah adanya rangsangan
(syahwat), baik bagi yang menyentuh maupun yang disentuh.
c. Syafi’iyaH
berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan mahram akan membatalkan wudhu’ secara
mutlak walaupun tiodak merasakan nikmat. Apakah laki-laki dan wanita itu sudah
berusia lanjut atau masih muda.
Oleh golongan
Syafi’iyah dikatakan wudhu’ menjadi batal apabila sentuhan itu langsung dengan
kulit, dan tidak ada batas penghalang seperti kain. Syafiiyah mengecualikan
menyentuh rambut kuku dan gigi tidak membatalkan wudhu’.
Menurut Syafi’iyah
wudhu’ juga menjadi batal apabila
menyentuh mayat, karena golongan ini tidak melihat pada adanya rangsangan atau
tidak seperti pada golongan Malikiyah.
d. Hanabilah
berpendapat bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila bersentuhan disebabkan
adanya syahwat dan tanpa batas penghalang. Golongan ini tidak membedakan wanita
mahram atau tidak, hidup atau mati, tua atau muda, besar atau kecil.
D. SESUATU
YANG KELUAR DARI TUBUH BUKAN DARI DUA JALAN
Sesuatu yang keluar dari tubuh seperti
nanah, darah dan najis dapat membatalkan wudhu’ menurut segolongan ulama dan
tidak membatalkan menurut pendapat lain.
a. Malikiyah
dan Syafi’iyah berpendapat bahwa sesuatu yang keluar selain dari qubul dan
dubur, tidak membatalakan wudhu’.
“Sesungguhnya
Nabi pernah berbekam , kemudian beliau sholat tanpa wudhu’ lebih dahulu” (Dikeluarkan
oleh Daruqutni).
b. Hanafiyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa sesuatu yang keluar dari tubuh selain qubul dan
dubur dapat membatalkan wudhu’. Hanabilah mengatakan batal wudhu’ bila yang
keluar itu banyak menurut pendapat umum. Sedangkan Hanafiayah mengatakan
batalnya wudu’ bila yang keluar itu mengalir dari tempat keluarnya.
“Siapa saja
(sewaktu sedang sholat) muntah, mimisan, mengeluarkan dahak, atau madzi,
hendakalah ia berpaling lalu berwudhu’, kemudian meneruskan sholatnya kembali
dan dalam melakukan itu semua ia tidak boleh berkata-kata”.
(Dikeluarkan oleh Ibnu Majah).
E. MENYENTUH
KEMALUAN
Menyentuh kemaluan sendiri dan kemaluan
orang lain dalam hal batal tidaknya wudhu’ terdapat perbedaan pendapat.
a. Hanafiyah
berpendapat, bahawa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu’ apakah
menyentuh kemaluan sendiri atau kemaluan orang lain.
Mereka berpegang kepada
hadits:
Seseorang bertanya kepada Nabi: “saya menyentuh kemaluan saya sendiri atau
katanya seseorang menyentuh kemaluannya sewaktu sholat, haruskah ia berwudhu’?
Nabi menjawab: “Tidak, sesungguhnya ia
(kemaluan) adalah bagian dari tubuhmu” (HR: Lima Ahli Hadits dan dinyatakan
shahih oleh Ibnu Hibban).
Juga berdasarkan riwayat Umar, Ali, Ibnu Mas’ud,
Zaid bin Tsabit, Amran bin Hushin, Huzaifah bin al-Yaman, Abi Darda dan Abu
Hurairah, mereka menganggap tidak batal menyentuh kemaluan.
b. Malikiyah
berpendapat bahwa seseorang yang menyentuh kemaluan, wudhu’nya menjadi batal
dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Orang
itu menyentuh kemaluan sendiri
2) Orang
itu sudah baligh.
3) Sentuhan
tanpa batas penghalang.
4) Sentuhan
dengan bagian dalam telapak tangan, atau bagian tepi telapak tangan, atau
bagian dalam jemari, atau bagian tepi jemari atau ujung dari tangan.
Malikiyah
memandang wudhu’ tidak batal bila seseorang menyentuh duburnya atau pelirnya
atau wanita menyentuh kemaluannya, atau memasukkan jari-jarinya ke dalam
kemaluannya.
c. Syafi’iyah
berpendapat bahwa menyentuh kemaluan sendiri dan kemaluan orang lain,
membatalkan wudhu’ bahkan menmyentuh kemaluan mayat pun membatalkan wudhu’.
“Siapa yang
menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu’”
(HR: Lima Ahli Hadits).
Sabda Rasulullah:
“Siapa saja laki-laki yang menyentuh
kemaluannya, hendaklah ia berwudhu’, dan siapa saja wanita yang menyentuh
kemaluannya hendaklah ia berwudhu’” (HR: Ahmad).
Sebagaimana
telah dijelaskan pada uraian terdahulu, bahwa menyentuh wanita tanpa batas
penghalang membatalkan wudhu’. Menyentuh kemaluan tentu sudah termasuk dalam
pengertian diatas, baik kemaluan anak klecil maupun orang mati.
d. Hanabilah
pendapat mereka sama dengan Syafi’iyah, dan yang berbeda adalah sentuhan dengan belakang
telapak tangan pun membatalakan wudhu’, sedangakan Syafi’iyah sentuihan dengan
telapak tangan bagian dalam membatalkan wudhu’, dengan belakang telapak tangan
tidak.
F. TERTAWA
Tertawa terbahak-bahak membatalakan
sholat dan wudhu’ menurut Hanafiyah bila dilakukan dalam sholat, namun bila
diluar sholat tidak membatalkan. Sedangkan menurut mazhab Syafi’iyah,
Malikiyah, Hambaliyah, Imamiyah, Jabir bin Abdullah dan Abu Musa al-Asy’ari, tidak membatalkan
wudhu’ baik itu dilakukan dalam sholat maupun diluar sholat[3]. Namun
para ahli fikih sepakat bahwa tertawa terbahak-bahak membatalkan sholat.
G. MEMANDIKAN
MAYAT
Menurut hHanabilah, seseorang yang
memandikan mayat wudhu’nya batal, berdasarkan hadits Aisyah:
“Rasulullah SAW mandi karena empat sebab:
karena janabah, hari jum’at, berbekam dan karena memandikan mayat” (HR: Abu
Daud, Ahmad dan Baihaqi).
Juga berdasarkan keterangan yang
mengatakan bahwa Ibnu Umar dan Ibnu
Abbas memerintahkan orang yang memandikan mayat supaya berwudhu’. Batalnya
wudhu’ seseorang bila ia secara langsung memandikan amyat, dan tidak batal
kalau hanya sekedar hanya membantu mengguyurkan air saja.
H. MURTAD
Murtad
yaitu keluar dari agama Islam dan berarti orang itu kafir. Murtad adakalanya
dengan perbuatan, keyakinan dan ucapan. Murtad adapat membatalkan wudu’, karena
ia menghapuskan semua amal, sedangkan wudhu’ termasuk juga kedalam kategori
amal. Allah berfirman:
…Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan dihapuslah amalmu…
(Az-Zumar: 65).
Menurut Hanafi dan Syafi’I, murtad tidak
membatalakan wudhu, berbeda dengan mazhab Hanbali, murtad itu membatalkan
wudhu’.
I. MEMAKAN
DAGING UNTA
Menurut
mazhab Hanabilah, makan daging unta dapat membatalkan wudhu’[4].
“seorang laki-laki bertanya kepada Nabi:
“Apakah kami harus berwudhu’ karena memakan daging kambing?” Ya jika kamu suka,
“Jawab Nabi. Apakah kami harus berwudhu’ karena makan daging unta? Tanyanya
lagi. Beliau menjawab: “Ya” (berwudhu’lah” (Dikeluarkan oleh Muslim)
Sedangkan menurut mazhab Syafi’iyah,
Malikiyah, Hanafiyah dan Imamiyah tidak membatalkan wudhu’.
J. RAGU
BERWUDHU’
Menurut mMalikiyah orang yang yakin ia
berwudhu’ atau berat dugaan ia masih suci, kemudian ia ragu, maka ia wajib
berwudhu’. Kemudian apabila yakin seseorang berhadats, kemudian ia ragu ia
masih suci, maka ia harus berwudhu’. Berbeda dengan jumhur selain Malikiyah,
bahwa wudhu’ tidak batal sekiranya sudah yakin ia berwudhu’[5].
Sebab sesuatu yang sudah diyakini, tetap berpegang kepada yang diyakini, jangan
berpegang kepada yang ragu. Juga berpegang kepada kaidah:
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan
keraguan”.