Sabtu, 02 Maret 2013

JIHAD FII SABILILLAH (KAJIAN HADITS)

JIHAD FISABILILLAH, sebuah kajian hadis حديث ابي موسى رضي الله عنه , قال : جاء رجل الى النبي صلى الله عليه وسلم , فقال : الرجل يقاتل للمغنم , والرجل يقاتل للذكر , والرجل يقاتل ليرى مكانه , فمن في سبيل الله ؟ , فقال : “من قاتل لتكون كلملة الله هي العليا فهو في سبيل الله” (اخرجه البخاري) Artinya: Abu musa r.a. berkata: seseorang dating kepada Nabi SAW bertanya: ada orang berperang untuk mendapatkan gonimah(hasil peperangan), dan orang berperang supaya dikenal, dan orang berperang untuk kedudukannya, yang manakah diantara mereka itu yang disebut fisabilillah? Jawab Nabi SAW: “siapa yang berperang untuk menegakkan agama Allah maka dialah fisabilillah”.(H.R. Bukhori)  Syarah hadis للمغنم yaitu untuk mendapatkan harta rampasan للذكر yaitu untuk disebut-sebut namanya oleh manusia dan dikenal dengan keberaniannya ليرى مكانه untuk riya’ من قاتل لتكون كلملة الله هي العليا yaitu dakwah menuju Islam atau tidak dapat dikatakan “fisabilillah” kecuali hanya untuk mengangkat kalimat Ilahi. A. Pengertian kata jihad Kata jihad terulang dalam Alquran sebanyak 41 kali dengan berbagai bentuknya. Secara bahasa jihad berasal dari bahasa arab ( جهد-يجهد- جهدا) berarti bersungguh-sungguh, mengeluarkan tenaga, berjuang[1]. Menurut Ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya Mu’jam al-Muqayis f³ Al-Lughah, kata yang terdiri dari huruf (ج – هـ - د ), arti dasanya adalah مشقة (kesulitan, kesukaran, jerih payah) kemudian diartikan dengan kata berdekatan dengannya, seperti kata الطاقة (kuasa, tenaga, daya). Allah berfirman: “والذين لايجدون إلا جهدهم” (aritnya: .. orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya..).[2] Adapun menurut pengertian istilah, jihad ialah bersungguh-sungguh mencurahkan segenap pikiran, kekuatan dan kemampuan untuk mencapai suatu maksud atau untuk melawan suatu obyek yang tercelah, seperti musuh yang kelihatan, setan atau hawa nafsu. Di samping itu juga, kata jihad mempunyai arti kekuatan perang atau bertempur melawan musuh.[3] M. Quraish Shihab membedakan istilah mujahid dengan istilah jihad. Mujahid adalah orang yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban dengan nyawa atau dengan tenaga, pikiran, emosi, dan apa saja yang berkaitan dengan diri manusia. Sedangkan jihad adalah cara untuk mencapai tujuan.[4] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Bagawi mengatakan, jihad yaitu kesabaran menghadapi sesuatu yang berat/sukar baik dalam perang maupun dalam menghadapi hawanafsu.[5] Ibn ‘Asyur mengatakan jihad adalah kesabaran atas segala cobaan dan sesuatu yang menyakitkan, serta dalam menghadapi tipudaya musuh. Adalah penting untuk menjelaskan istilah qital dan harb dalam kaitannya dengan istilah jihad, mengingat yang terakhir ini amemiliki kandungan makna yang lebih kompleks dibanding dua istilah lainnya Menurut leksikon terdapat terdapat tiga makna jihad, yakni berjuang melawan musuh yang tampak, melawan setan, dan melawan nafsu (dorongan-dorongan rendah yang muncul dari dalam diri atau jiwa). Ketiga nuasa makna tersebut muncul dalam pemakaian kata jihad dalam al-Qur’an.[6] Namun demikian, sejauh ini terdapat paling tidak dua dimensi dari kata jihad; yang dilakukan dalam batin (memerangi nafsu), dan melawan musuh yang di luar diri. Yang pertama di sebut jihad akbar, karena lebih sulit dilakukan. Selain itu, jihad jenis ini mengisyaratkan perjuangan terus-menerus dan dampaknya yang besar (yang selalu ditentukan oleh niat dan keikhlasan: dua kualitas yang dimiliki oleh jiwa yang sempurna) terhadap jihad yang kedua, yang dinilainya lebih rendah, jihad atau perjuangan bersenjata melawan orang-orang kafir yang agresif dan bermusuhan (hotile) terhadap Islam kaum Muslimin. Kalau tujuan jihad yang kedua adalah untuk menyucikan tatanan sosial dari gangguan yang mincul karena kekufuran, maka jihad akbar bertujuan untuk menyucikan hati. Yakni dengan membersihkan jiwa dari dorongan-dorongan yang merusak, semisal hawa nafsu dan amarah.Hal tersebut tidak dilakukan dengan meniadakan apa yang ada di dalam hati, melainkam dengan menundukkan dan mentransformasikan sifat-sifat rendah tersebut hingga mencapai satu titik keseimbangan dan hanya teraktualisasi dalam cara yang tidak bertentangan dengan hukum Ilahiah  Jihad Menurut Ulama Sayyid Qutub menjelaskan bahwa sesungguhnya peperangan di jalan Allah merupakan kewajiban yang berat, tetapi wajib dilaksanakan. Wajib dilaksanakan karena kewajiban ini mengandung banyak kebaikan bagi individu muslim, jama’ah muslim dan seluruh umat manusia, juga bagi kebenaran, kebaikan, dan keshalihan.[7] Hamka mengemukakan bahwa pada pokoknya perang itu tidak disukai. Memang pada umumnya apabila mempersoalkan perang, orang tidak suka. Berperang adalah merubah kebiasaan hidup yang tenteram, berperang adalah membunuh atau dibunuh. Sedangkan orang ingin kalau dapat biarlah mati secara wajar-wajar saja. Berperang meminta perbelanjaan besar, sedang manusia ia adalah bakhil dan terlalu pelit.[8] Allah Swt berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 195. وأنفقوا في سبيل الله ولا تلقوا بأيديكم إلى التهلكة وأحسنوا إن الله يحب المحسنين Artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.[9] Ahmad Mustafa al-Maraghi menafsirkan ayat ini, yaitu membelanjakan harta benda dengan membeli segala macam perlengkapan perang untuk membela diri, atau yang sejenis yang dimiliki musuh-musuh kalian. Jika tidak ada yang lebih baik yang akhirnya engkau bisa meraih kemenangan. Dan jika engkau bakhil, sungguh engkau merusak diri sendiri.[10]  Kandungan Hadis Hadis ini menjelaskan bahwa semua bentuk jihad tak akan dikatakan “fisabilillah” bila tidak dengan satu tujuan yaitu untuk menegakkan kalimat Allah SWT, atau hanya untuk mencari ridhoNya, mendakwahkan kalimat-kalimatNya. Sebaliknya hadis ini menjatuhkan segala bentuk jihad yang ditujukan untuk memperoleh 3 hal: 1. Materi (maghnam) 2. Ketenaran (dzikr) 3. Kedudukan (makaanah) Sebagaimana yang disinyalir dalam Al-Quran: v انفروا خفافا وثقالا وجاهدوا باموالكم و انفسكم في سبيل الله (التوبة:41) Artinya: “Keluarlah untuk berperang baik di waktu ringan atau berat, dan berjuanglah dengan mengorbankan harta dan jiwamu dalam menegakkan agama Allah” v إن الذين آمنوا والذين هاجرا وجاهدو في سبيل الله أولئك يرجون رحمة الله والله غفور الرحيم (البقرة : 218) Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. v وجاهدوا في الله حق جهاده...(الحج : 78) Artinya: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya” v كتب عليكم القتال وهو كره لكم وعسى أن تكرهوا شيئا وهو خير لكم وعسى أن تحبوا شيئا وهو شر لكم والله يعلم وأنتم لاتعلمون (البقرة: 216) Artinya: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. ________________________________________ [1]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), hal.96-97. [2]Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris bin Zakariya, Mu’jam al-Maqayis al-Lughah (Beirut : Dar al-Fikr, 1399H. – 1979M.), jilid I, h. 486 [3]Rahmad Taufiq Hidayat, Khazanah Istilah Alquran (Cet. III; Bandung : Mizan, 1993), h. 71 - 73 [4]M. Quraish Shihab, Lentera Hati (Cet. II; Bandung : Mizan, 1994), h. 107 [5] Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Bagawi, Ma’alim al-Tanzil, (Dar al-Thayyibah li al-Nasyri wa al-Tauzi’, 1417H. – 1997M.) cet. IV. Jilid VI. h. 233. [6]Lihat misalnya; Q.S. 9:20,81, 22:78, 29:6,69, 61:11. [7]Sayyid Qutub, Tafsir f³ Zhilalil Qur’an (Cet. X; Kairo : Dar al-Syuruq, 1402 H/1982 M.), h. 172 - 174 [8]Lihat Hamka, Tafsir al-Azhar, juz. II (Cet. III; Jakarta : Pustaka Panjimas, 1994), h. 180 [9]Departemen Agama RI., op. cit., h. 47 [10]Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz. II diterjemahkan oleh K. Anshori Umar Sitanggal (Cet. II; Semarang : Toha Putra, 1993), h. 160 – 161.

JIHAD FII SABILILLAH ALA DR. YUSUF QARDAWI

JIHAD FI SABILILLAH ALA Dr. YUSUF QARDHAWI Oleh: Tim Studi Manhaj Salaf Dr. Yusuf Qardhawi berkata, ” Oleh karena itu, saya condong untuk tidak memperluas cakupan fi sabilillah dengan mencakup seluruh perbuatan baik dan bermanfaat, sebagaimana saya juga tidak mempersempit cakupannya sehingga tidak terbatas kepada jihad yang berarti peperangan secara militer saja. Kadang-kadang jihad itu menggunakan pena dan lisan sebagaimana juga menggunakan pedang dan tombak. Kadang-kadang jihad berbentuk pemikiran, pendidikan, sosial, ekonomi atau politik sebagaimana kadang berupa militer "Sesungguhnya berbagai macam bentuk jihad dan aktivitas keislaman yang kami sebutkan diatas walaupun tidak termasuk makna jihad dalam nash maka wajib memasukkannya ke dalam makna jihad dengan cara qiyas, karena keduanya adalah amalan yang bertujuan untuk menolong din Allah, membelanya dan melawan musuh – musuhnya serta menegakkan kalimatullah di muka bumi". Juga berkata,” Sesungguhnya yang terpenting dan pertama kali dianggap fi sabililillah saat ini adalah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memulai kehidupan Islami dan benar, diterapkan di dalamnya seluruh hukum Islam baik itu aqidah, pemahaman, syiar-syiar, akhlaq dan adat istiadat / budaya. Adapun yang kami maksud dengan bekerja secara sungguh-sungguh adalah bekerja bersama-sama yang terorganisir dan terarah untuk mewujudkan hukum Islam, menegakkan daulah Islam dan mengembalikan khilafah Islamiyyah, umat dan peradabannya.” Dia lebih memperjelas pendapat ini,” Sesungguhnya mendirikan pusat-pusat dakwah, untuk menyeru kepada agama Islam yang benar, menyampaikan risalahnya kepada selain kaum muslimin di seluruh benua di dunia ini yang mana berbagai agama dan aliran saling bertarung adalah jihad fi sabilillah. Sanggahan Atas Berbagai Kesesatan di Atas : Definisi jihad menurut bahasa sangat umum sehingga apapun usaha seseorang dengan motivasi baik maupun buruk jika ada unsur mengerahkan kemampuan bisa tergolong jihad—menurut bahasa. Namun, Islam telah meletakkan kata jihad dengan pengertian syar'i. Ratusan kata jihad tersebar di dalam Al Qur'an dan As Sunah. Pelaksanaan dan hukum-hukum jihad sendiri juga telah diatur syariat dengan sempurna. Para ulama ushul fiqih telah menetapkan kaidah," Makna syar'i lebih diutamakan berdasarkan pengertian syara', daripada pengertian bahasa maupun 'urf." Telah kita sebutkan di atas dasar-dasar dari Al Qur’an, As sunah dan pendapat para ulama salaf yang menyimpulkan makna syar’i dari kata jihad adalah perang melawan orang-orang kafir. Ini makna asasi dan pokok dari kata jihad. Meski demikian ada makna lain dari kata jihad ini seperti jihad melawan hawa nafsu, jihad dengan lisan, harta dan makna sekunder lainnya. Namun jihad tidak bisa dimaknakan dengan makna-makna sekunder ini, kecuali bila ada qarinah (dalil/hal lain) yang menyebabkan jihad tidak bisa dipakai dengan makna pokoknya. Imam Ibnu Hajar berkata," Secara syar'i adalah mengerahkan kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir, dan kadang-kadang digunakan untuk makna berjihad melawan hawa nafsu dan setan." . Imam Ibnu Rusydi berkata,” Jihadus saif adalah memerangi orang-orang musyrik karena agama. Setiap orang yang berpayah-payah karena Alloh maka ia telah berjihad di jalan Alloh, akan tetapi sesungguhnya kalimat jihad fii sabilillah apabila berdiri sendiri (mutlaq) maka tidak ada arti lain kecuali jihad melawan orang-orang kafir dengan pedang sampai mereka masuk Islam atau membayar jizyah dengan rendah diri.” [Al Muqoddimatu al Mumahidatu li Bayani Ma Iqtadhthu Rusunu al Mudawwanah mi Al Ahkam al Syar’iyah 1/269]. Karena itu, bila sebagian besar umat Islam memahami jihad itu perang, itu sudah betul, sesuai dengan syariat dan bukan merupakan pandangan yang picik dan sempit. Adapun tuduhan orang-orang orientalis dan orang-orang kafir lainnya, memang itulah pekerjaan mereka mencari-cari celah untuk menyerang Islam. Menuduh memaknai jihad dengan perang sebagai sebab adanya tuduhan orientalis kepada Islam sebagai dien teroris dll merupakan tindakan yang tidak pada tempatnya dan tak lebih dari upaya mencari kambing hitam. Tanpa inipun, mereka akan tetap menyerang Islam dengan tuduhan-tuduhan miring. Sedangkan perkataan DR. Yusuf Qardhawi yang mendasarkan pada qiyas, maka pernyataan beliau ini tertolak karena tidak ada qiyas kalau sudah ada nash. Bila dikatakan makna jihad secara syar’i adalah perang, bukan artinya kita melalaikan dan mengecilkan peran penting jihad dengan arti sekunder lainnya. Tetap kita mengakui arti penting dakwah, tarbiyah, pembinaan aqidah, pembangunan pondok pesantren dan madrasah sebagai upaya pembangunan kader da’i, pembangunan jaringan ekonomi Islam dan usaha-usaha sholih lainnya. Itu semua penting, sangat penting dan jihad tak akan mungkin terlaksana tanpa adanya dukungan semua usaha tadi. Kaum muslimin hari ini, baik ulama maupun masyarakat tetap menyadari hal ini, dan itu satu hal yang patut kita syukuri dan kita tingkatkan lagi. Adapun adanya mayoritas masyarakat umat Islam yang memahami jihad sebagai jihad dan tidak menamai aktifitas keislaman lain dengan kata jihad, maka itu sudah betul, sudah di atas rel yang lurus dan bukan hal yang berbahaya. Meluruskannya justru akan membengkokkan pemahaman yang telah benar. Kalau semua disebut jihad maka umat akan dibuat bingung membedakan mana yang bukan jihad. Sebagai contoh, seorang petani ke sawah mengatakan saya berjihad, pedagang ke pasar berkata saya berjihad, ustadz ngajar di pondok mengatakan saya berjihad, dan seterusnya, lantas mana yang tidak jihad??? Jangan-jangan, yang jihad betulan (mengangkat senjata) malah disebut teroris dst. Para ulama sendiri menyebut jihad sebagai dakwah, bukannya menyebut dakwah sebagai jihad. Sebagai contoh Imam Al Kasani mengatakan,”Dakwah ada dua: Dakwah dnegan senjata yaitu perang dan dakwah dengan lisan yaitu tabligh.” [Badai-u al Shanai’ 9/4304] Di sini, bukannya menyebut dakwah dengan jihad, justru beliau menyebut jihad dengan dakwah. Walahu A’lam bish Shawab. Jadi, yang salah bukan mendefinisikan dan memahami kata jihad bermakna perang, namun yang salah dan tidak tepat adalah melalaikan atau mengecilkan sebagian macam-macam bentuk jihad (jihad dengan makna sekunder). Termasuk hal yang salah adalah salah menerangkan makna bentuk jihad yang paling afdhal (utama). Dari sini, bisa kita pahami --- sebagai jawaban atas orang-orang yang mengatakan jihad maknanya perang merupakan pendapat yang picik dan salah --- hal-hal berikut : Memang benar ayat-ayat tadi menerangkan keutamaan dan arti penting jihad da’awy (lewat dakwah) dan menyebutnya sebagai jihadan kabiran (jihad yang besar), namun makna ayat tadi tak lebih dari pengertian ini, maksudnya bukan berarti dakwah itu jihad yang paling utama. Kalaupun kita menerima pendapat yang mengatakan dakwah itu jihad yang paling agung dan utama, itupun tidak menjadi masalah karena ayat ini turun di Makkah sedang para ulama dan umat Islam telah sepakat perintah jihad belum diturunkan di Makkah, saat itu perintah perang melawan orang muyrik belum ada. Bahkan, saat perjanjian Aqabah keduapun ---menjelang hijrah beliau ke Madinah--- ketika shahabat Anshar meminta izin menyerang penduduk kafir Mina esok harinya, beliau berkata,”Kita belum diperintahkan untuk itu.” Yang diperintahkan saat itu adalah jihad dakwah, tentu saja hal ini menjadikannya amal paling utama saat itu. Adapun mengartikan jihad adalah perang melawan orang kafir merupakan jihad paling utama, maka ini semua berangkat dari ayat niha’i dari ayat jihad yang turun tahun 9 H. Islam telah sempurna, dan hukum yang wajib diambil adalah hukum niha’i. Orang yang berjihad dan mati tidak dimandikan bahkan sebagian ulama menyatakan tidak disholati, cukup dikafani dan dikuburkan. Ini semua menunjukkan jihad itu makna syar'inya perang. Dengan demikian setiap jihad itu berarti "perang", meskipun tidak setiap perang itu masuk kategori jihad." [DR. Muhammad Khoir Haikal, Al Jihadu wa al Qitalu fi al Siyasah al Syar'iyah, 1/74-75]. Untuk itulah kata jihad selalu diiringi dengan kata fi sabilillah, demi menujukkan tujuannya yang mulia untuk meninggikan kalimat Allah semata. Makna yang langsung bisa dipahami dari kata fi sabilillah sendiri adalah jihad, seperti ditegaskan Imam Ibnu Hajar,”Makna yang langsung dipahami dari kata fi sabilillah adalah jihad.” Karena itu tak ada ulama yang memahami hadits di bawah ini untuk makna selain jihad/perang : Dari Abu Sa’id ia berkata,” Rasulullah bersabda,” Tidak ada seorang hamba pun yang shaum sehari saja di jalan Allah (jihad) kecuali Allah akan menjauhkan dirinya dari neraka dengan (shaum) hari itu sejauh 70 tahun.” [Bukhari no.2840, Muslim no. 1153]. Imam Ibnu Jauzi berkata,” Jika disebutkan secara mutlaq kata sabilullah maka maknanya adalah jihad.” Tak seorang ulamapun menggunakan hadits ini untuk mereka yang thalabul ilmi, berdakwah, mendirikan pondok dst. Semua ulama memasukkan hadits ini dalam hadits tentang jihad, tentang perang melawan orang kafir. Wallahu A’lam. Hadits-hadits yang disebutkan juga tidak bisa menunjukkan dakwah merupakan jihad yang paling agung atau memaknai jihad secara syar’i dengan perang merupakan hal yang salah. Makna hadits–hadits tadi ---wallahu A’lam--- adalah dakwah, amar ma’ruf nahi munkar dan jihad melawan hawa nafsu menuntut perjuangan keras dan melawan beban yang berat. Terkadang harus mengorbankan nyawa seperti kasus amar ma’ruf di hadapan sultan yang dzalim. Namun makna hadits-hadits ini juga bisa ---bahkan mungkin lebih pas--- bila diterapkan dalam jihad dnegan makna perang, di mana nyawa dan harta betul-betul dicurahkan untuk meninggikan Islam, melebihi pengorbanan harta dan nyawa dalam dakwah dan jihad melawan hawa nafsu. Bahkan, perang melawan orang kafir merupakan jihad melawan hawa nafsu yang paling besar, di mana selain nyawa dan harta dipertaruhkan, seluruh pelajaran tauhid, akhlaq dan hukm-hukum fiqih ada di dalamnya. Jihad dengan makna perang akan mengajarkan tauhid, tawakal, sabar, syukur, pengorbanan dst, melebihi jihad qauly (dakwah) dan jihad melawan hawa nafsu yang bukan di medan jihad. Bahkan jihad dengan makna perang ini telah mencakup jihad melawan hawa nafsu dan jihad qauly. Wallahu A’lam. Dalam banyak hadits disebutkan keutamaan berbagai amal. Menggunakan hadits-hadits tentang utamanya berbagai amal tadi untuk menyimpulkan makna jihad secara syar’i bukan hanya perang saja, atau memaknainya dengan perang merupakan pemikiran yang salah dan picik sama sekali tidak benar. Dalam hadits disebutkan : Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah ditanya,” Amal apakah yang paling utama ?” Beliau menjawab,” Iman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Kemudian beliau ditanya lagi,” Lalu apa?” Beliau menjawab,” Jihad di jalan Allah.” Kemudian beliau ditanya lagi,” Lalu apa?” Beliau menjawab,” Haji yang mabrur.” [Bukhari no. 1519 ] Dari Ibnu Mas’ud,” Saya bertanya kepada Rasulullah,” Ya Rasulullah, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab,” Shalat tepat pada waktunya.” Saya bertanya lagi,“Lalu apa?” Beliau menjawab,” Berbakti pada kedua orang tua.” Saya bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab,”Jihad di jalan Allah.” [Bukhari no.2782]. Dan hadits-hadits lain yang sebagiannya telah kita sebutkan di atas. Dalam berbagai hadits di atas, jawaban nabi selalu berbeda-beda sesuai dengan kondisi si penanya atau kondisi waktu saat itu. Imam Ibnu Hajar berkata saat menerangkan hadits Ibnu Mas’ud tadi,” Kesimpulan para ulama mengenai hadits ini dan hadits-hadits lain yang saling berbeda mengenai amal yang paling utama bahwasanya jawaban nabi berbeda-beda sesuai kondisi si penanya dengan cara memberitahukan kepada setiap kaum apa yang mereka butuhkan atau amalan apa yang mereka senangi atau cocok untuk mereka atau (bisa) juga berbeda sesuai perbedaan waktu dengan (penjelasan) amal itu lebih utama untuk waktu itu. Karena jihad itu awal Islam adalah sebaik-baik amalan karena merupakan wasilah untuk melaksanakan (menegakkan) Islam dan memngkinkan untuk melaksanakannya. Banyak sekali nash-nash yang menyatakan shalat lebih utama dari shadaqah, meski demikian dalam kondisi menyantuni orang yang dalam keadaan terjepit lebih utama dari sholat. Atau bisa jadi bukan lebih utama dari amalan yang serupa dengannya, namun maksudnya adalah keutamaan secara mutlaq atau maknanya adalah termasuk amalan yang paling utama, kata termasuk (??) dibuang, dan itulah yang dimaksudkan.” Dengan ini bisa dimengerti cara memadukan berbagai hadits yang nampaknya bertentangan dalam masalah amalan yang paling utama inii. Kaidah yang diterangkan Ibnu Hajar ini berlaku juga untuk menerangkan jihad yang paling utama. Beliau kadang menyebut,” Seutama-utama jihad adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim.” Terkadang bersabda,” Seutama-utama jihad adlah engkau berjihad melawan nafsumu demi Allah.” Terkadang beliau bersabda,”Orang yang kudanya terbunuh dan darahnya tertumpah.” Terkadang juga bersabda,”Bagi kalian (kaum wanita) ada jihad yang paling utama yaitu haji yang mabrur.”Jawaban beliau ini berbeda-beda sesuai kondisi suasana saat itu atau kondisi si penanya. Namun demikian, tetap jihad dengan makna memerangi orang kafir dengan senjata yang mempertaruhkan nyawa dan harta itu sebagai jihad paling utama, dan itulah makna syar’i dari kata jihad. Wallahu A’lam. Agar jawaban di atas lebih bisa dipahami, ada baiknya kita membahas penggunaan berbagai istilah dalam Islam : Istilah Syar’i Dan Pemakaiannya Dalam Islam, istilah-istilah syar’i selalu mempunyai dua makna; makna bahasa dan makna syar’i atau istilah. Dalam penggunaannya, makna yang dipakai pedoman dan penilaian adalah makna syar’i/istilah. Sebagai contoh : a). Sholat maknanya secara bahasa adalah doa, sedang secara syar’i perbuatan dan perkataa tertentu dengan aturan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri salam. Makna sholat dengan makna bahasa “doa” ini tersebut dalam ayat dan hadits, namun demikian setiap kali kata sholat disbut maka yang langsung dipahami oleh siapapun adalah makna keduanya, makna syar’inya. Saat sholat dhuhur tiba, misalnya, seluruh orang dalam masjid mendirikan sholat Dhuhur berjama’ah, namun ada seseorang memojok dan tdak ikut sholat, ia berdiam diri dzikir atau membaca Al Qur’an. Ketika ditanya, kenapa tidak sholat ia menjawab sudah karena sholat itu kan berdoa. Akankah jawaban ini diterima? Tentu saja semua pihak akan menolaknya, bisa dipastikan ia malah dituduh pengikut kebatinan atau aliran sesat lainya. Kenapa demikian, karena ia mempermainkan istilah syariat. b). Shaum maknanya secara bahasa adalah diam atau menahan diri. Tidak berbicara namanya shaoum, tidak makan namanya shoum, tidak tidur namanya shaum,dst. Makna shaum secara syar’i adalah menahan diri dari makan, minum, jima’ dan seluruh pekerjaan lain yang membatalkan shoum menurut syariat sejak terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Demikian pula jihad. Ia mempunyai makna secara bahasa dan syar’i seperti telah kita terangkan di muka. Meski makna sekunder jihad banyak seperti jihad melawan syetan, melawan hawa nafsu da lain-lain, atau makna bahasanya mengerahkan segenap kemampuan, kita tidak bisa menyebut bersungguh-sungguh main bola itu jihad sekalipun seluruh tenaga terkuras habis. Kenapa? Karna itu artinya bermain-main dengan istilah syariat. Cukuplah main bola disebut sebagai bermain bola, dakwah dengan dakwah, membangun ponpes dengan membangun ponpes dst. Cukuplah jihad itu perang melawan orang kafir. Memang bisa dimaknai dakwah dst, tapi itu kalau ada qarinah. Kesimpulannya : Kata jihad diungkapkan dengan dua cara yaitu : (1) Dengan secara mutlak (berdiri sendiri) dan (2) Dengan ungkapan yang disertai qorinah (keterangan) yang memalingkan dari makna aslinya. Jika disebutkan secara mutlak maka tidak ada arti lain kecuali perang melawan orang-orang kafir. Inilah makna syar’i yang dibicarakan seluruh ulama madzhab tadi. Jihad dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan dzirwatu sanamil islam (puncak ketinggian Islam) dan sebaik-baik amalan secara mutlak sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Nuhas dan Ibnu Taimiyah . Setiap hadits dan ayat yang menerangkan keutamaan jihad maka maknanya adalah jihad dalam artian perang ini. Jihad dalam pengertian ini pulalah yang hukumnya asalnya fardlu kifayah dan dalam beberapa kondisi tertentu menjadi fardlu ain. Adapun dakwah dst itu termasuk jihad dengan makna kedua, dan jihad tidak dimaknai dengan makna kedua ini bila tidak ada qarinah. Kesalahan sebagian pihak saat ini adalah memaksakan jihaddengan qarinah ini untuk bisa menempati makna jihad mutlaq tanpa qarinah ini. Wallahu A’lam. Oleh karena itu, Syaikh Abdul Akhir Hamad Al-Ghunaimy dalam mendudukkan persoalan ini mengatakan,” Yang benar, memang jihad dalam Islam mencakup jihad melawan syetan, hawa nafsu dan godaan dunia. Akan tetapi yang paling tinggi adalah memerangi musuh-musuh Allah dengan pedang dan tombak dan inilah puncak ketinggian Islam dan ini pulalah yang dimaksud dengan jihad kalau diungkapkan secara mutlak (berdiri sendiri)”. Begitu juga ungkapan Imam Ibnu Rusyd, yang telah kita ungkapkan dua kali di atas. Jadi segala bentuk jihad, baik jihad melawan hawa nafsu, syetan atau godaan dunia disyari’atkan dalam Islam bahkan segala bentuk jerih payah dalam rangka beribadah kepada Alloh adalah jihad fi sabilillah. Namun semua bentuk dan macam jihad tesebut bukanlah yang dimaksud pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang menerangkan jihad secara mutlak (berdiri sendiri) baik hukum-hukum yang berlaku padanya maupun keutamaan-keutamaannya. Demikian juga halnya dengan Ibnu Qayyim, beliau berkata,”…Kemudian diwajibkan atas kaum muslimin secara menyeluruh untuk memerangi semua orang musyrik secara menyeluruh. Yang mana sebelumnya hal ini dilarang lalu diizinkan, lalu diperintahkan untuk melawan orang-orang yang memulai perang lalu diperintahkan untuk memerangi seluruh orang musyrik, hukum perintah terakhir ini ada yang mengatakan farhdu ‘ain namun yang masyhur adalah fardhu kifayah. Yang benar, pekerjaan jihad secara umum adalah fardhu ‘ain baik dengan hati, lisan, harta atau tangan. Semua orang Islam harus berjihad dengan berbagai bentuk jihad tersebut, adapun jihad dengan nyawa adalah fardhu kifayah sedangkan jihad dengan harta ada yang mewajibkan dan ada yang tidak. Yang benar adalah wajib juga.” Ustadz Hasan Al-Banna berkata,” Yang saya maksud dengan jihad adalah sebuah kewajiban yang hukumnya tetap hingga hari kiamat. Ini merupakan kandungan dari apa yang disabdakan Rosululloh saw. : ”Barangsiapa mati, sedangkan ia belum pernah berperang atau berniat untuk berperang, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah.” Peringkat pertama jihad adalah pengingkaran dengan hati dan peringkat terakhir adalah berperang di jalan Alloh. Di antara keduanya terdapat jihad dengan pena, tangan dan lesan berupa kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zlolim. Tidaklah dakwah menjadi hidup kecuali dengan jihad. Kadar ketinggian dakwah dan keluasan bentangan ufuknya adalah penentu bagi sejauh mana keagungan jihad di jalan-Nya dan sejauh mana pula harga yang harus ditebus untuk mendukungnya. Sedangkan keagungan pahalanya diberikan kepada mujahid. “ Dan berjihadlah di jalan Alloh dengan sebenar-benar jihad.” [ QS : Al Hajj : 78 ] Dengan demikian engkau telah mengerti slogan abadimu:”Jihad adalah jalan kami.” Syaikh Said Hawa menerangkan perkataan beliau di atas dengan berkata,“ Kami sebutkan dalam kitab jundulloh tsaqofatan wa akhlaqon bahwa jihad itu ada lima macam yaitu; jihad dengan tangan, jihad dengan lisan, jihad dengan harta, jihad dengan politik.” Lebih lanjut beliau berkata,”Jika jihad disebutkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah jihad dengan tangan.” Seperti telah diungkapkan di atas, seluruh ulama menyebutkan bahwa melawan hawa nafsu, syetan, berdakwah dan sebagainya, itu termasuk jihad namun jihad dalam artian bahasa, atau jihad dalam artian sekunder. Hal itu memang benar dan tidak diingkari, namun demikian pengertian ini tetap tidak bisa dimasukkan kedalam pengertian jihad secara khusus ( syar’i/saat jihad disebut secara mutlaq ). Kenapa ? Karena memang perbedaan hukum-hukum, kedudukan dan keutamaannya. Hukum-hukum jihad seperti fa’i, ghanimah, kharaj, ghulul, membunuh lawan, keutamaan mati syahid dan sebagainya, itu semua hanya berlaku untuk jihad dengan makna syar’i ( mutlaq ), bukan untuk dakwah dan sebagainya. Itulah kenapa makna jihad secara syar’I menurut seluruh ulama salaf adalah perang, bukan dakwah dan sebagainya. Karena kita tidak bisa artikan, misalnya, hadits orang mati syahid memberi syafa’at 70 anggota keluarganya itu untuk orang yang dakwah (tabligh atau mengajar di pondok lalu sakit dan mati, misalnya), karena hadits itu untuk jihad dengan makna syar’i, yaitu perang. Wallahu A’lam. Dr. Yusuf Qardhawi dalam timbangan syare’ah Berkata Syeikh Al-Mujahid Abu Bashir mengenai Yusuf Qardhawi: Pada awalnya orang ini baik dan menyebarkan studi-studi yang bermanfaat di awal turunnya dia dalam dakwah dan pengajaran. Namun ditengah perjalanan dia berubah dan membelok. Dia menyeleweng sangat jauh dari awal pertama ketika dia menimba ilmu dan amal untuk agama ini. Kita mengambil ibrah seseorang pada waktu akhirnya seperti dalam hadist: “Dan jangnlah kalian kagum akan amal seseorang sampai kalian melihat amal terakhirnya, karena orang yang beramal shaleh itu beramal sepanjang masa dari hidupnya, seandainya dia mati maka dia masuk jannah atau hanya seketika lalu dia terjerumus dalam amalan keji..” Kita memohan pada Allah agar tetap tsabat dan mendapat husnul khatimah. Jika kalian bertanya: “Dimanakah kebengkokan dan pelencengan orang ini”? Saya jelaskan: Kebengkokan dan pelencengannya bisa dilihat dari beberapa pandangan: 1. Dari sisi kedekatan dan lontaran pujian baik kepada pemerintahan taghut zalim, berdebat untuknya…..perilaku sangat terkenal dan telah diketahui banyak orang. 2. Dari sisi statemen-statemennya mengenai demokrasi dengan definisinya yang kafir dan syirik…mengenai sekulerisme dan pengakuan kekuasaannya yang memerintah negeri serta hamba seandainya mayoritas rakyat mendukung…..Masalah ini telah kami bantah dalam kitab kami berjudul “hukmul Islam fi Demokratiyah wa Ta’adidiyah Hizbiyah” lebih dari 80 halaman..kalian bisa mentelaahnya. 3. Dari sisi pujiannya kepada Syiah Rafidhah (golongan ini telah dikafirkan ulama –pent)..lemah lembutnya ketika berselisih pendapat kepada mereka serta berloyalitas kepadanya…Padalah permasalahan begini telah dihukumi kafir nyata (kufrun bawah) dengan dalil Kitab dan sunnah yang jelas. 4. Dari sisi peremehannya pada Allah. Ketka itu dia berada di mimbar jum’at berkotbah. Setelah dia memuji demokrasi Negara Israel dengan pujian yang baik dian berkata: “Seandainya Allah menyerahkan usrusannya kepada manusia yang telah mencapai angka ini”. Maksudnya jumlah angka masyarakat yang menyetujui hukum Arab mencapai jumlah 99.99%. Ketika pernyataan ini disampaikan kepada Steikh Utsaimin maka beliau berkata: Ini kemurtadan…karena sebab peremehannya pada Allah dan melebihkan makhluk. Dia wajib bertaubat – dengan menyatakan secara luas di mimbar dimana dulu dia berkhatbah mengucapkan kalimat kafir ini – Bila dia tidak mau bertaubat maka hukum bagi orang murtad adalah bunuh. 5. Dari sisi menghalalkan sesuatu yang telah Allah haramkan” Syeikh juga berkata: “Dari pandangan-pandangan yang disebutkan ini dan lainnya saya katakan seperti tadi, bahwa orang ini telah berubah dan melenceng…menghalalkan yang telah Allah haramkan….dia tercampak dalam kekufuran nyata (kufrun bawah)…Saya tidak melihat ada sesuatu penghalang untuk mengkafirkannya secara jelas kepadanya kecuali jika dia bertaubat nasuha dan mengumumkan kepada manusia”. Syeikh juga berkata: “Inilah hukum bagi orang ini yang kami putuskan secara benar bukan ngawur…atau dari ghulat ahlu takfir (ekstrim)…tidak…Kami memutuskannya setalah memperhatikannya secara cermat dan lama dalam permasalahan mawani’ takfir (penghalang-penghalang kekafiran), setelah lama bersabar dan diam kami takut atas dosa ini (mendiamkan –pent)…Terlebih fitnah yang disebarkan orang ni telah meluas dan menyebar….dan dari banyaknya pertanyaan-pertanyaan yang masuk kepada kami mengenainya, fikihnya dan omongannya….Maka kami memutuskan untuk menjelaskan kedudukan dia menurut syar’I, kedudukan hukum yang kami yakini…” (Al-Mauqif syar’I Min Qordhawi) *** Fa’tabiru ya ulil abshar