BAB II
MUSTAHIQ DAN CARA PENDISTRIBUSIAN ZAKAT
A.
Mustahiq
Zakat
Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an Al Karim pada ayat berikut.
Sesungguhnya zakat-zakat itu
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 60)
Ayat ini dengan jelasmenggunakan kata “innama”, inimenunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang
lainnya[1].
1.
Fakir
Terdapat
perbedaan interpretasi ulama fiqih dalam mendefinisikan orang fakir (al-faqr,
jamaknya al-fuqara). Imam abu Hanifah berpendapat orang fakir adalah orang yang
tidak memiliki penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Adapun menurut jumhur ulama fakir adalah orang-orang yang tidak mempunyai harta
atau penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, tempat
tinggal, dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungannya[2].
2.
Miskin
Dalam
mendefinisikan orang miskin (al-miskin, jamaknya al-masakin) pun, kedua
golongan ulama diatas berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, orang miskin
adalah orang yang memiliki pekerjaan tetap tetapi tiddak dapat mencukupi
kebutuhannya sehari-hari.
Jumhur
ulama mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang mempunya harta atau
penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan diri dan tanggungannya, tetapi
penghasilan tersebut tidak mencukupi.
Akan tetapi Imam Abu Yusuf dan Ibnu
Qasim (w. 918 M; tokoh fiqih Mazhab Maliki) tidak membedakan secara defenitif
kedua kelompok orang tersebut (fakir dan miskin). Menurut mereka, fakir dan
miskin adalah dua istilah yang mengandung pengertian yang sama.
Islam sangat memperhatikan nasib fakir dan
miskin ini. Hal ini terbukti dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an dan Hdits Nabi
yang menyuruh umat Islam memperhatikan nasib mereka. Bahakan Al-Qur’an
memandang orang yang tidak memperhatikan nasib fakir miskin sebagai pendusta
agama, sebagaimana tersebut dalam Surat Al-Ma’un ayat 1-3. Usaha-usaha Islam
untuk meningkatkan kesejahteraan fakir miskin antara lain ialah dengan
pemberian zakat kepada mereka.
Dan
fakir miskin adalah yang paling berhak menerima zakat diantara delapan asnaf[3].
3.
Amil
zakat
Yaitu
orang-orang yang bertugas mengambil zakat dari para muzakki dan
mendistribusikan kepada para mustahiq. Mereka itu adalah kelengkapan personil
dan finasial untuk mengelola zakat.
a. Termasuk dalam kewajiban imam adalah
mengutus para pemungut zakat dan mendistribusikannya, seperti yang pernah
dilakukan Rasulullah dan para khalifah sesudahnya.
b. Syarat orang-orang yang dapat
dipekerjakan sebagai amil pengelola zakat, adalah seorang muslim, baligh dan
berakal, mengerti hukum zakat-sesuai dengan kebutuhan lapangan- membidangi pekerjaannya,
dimungkinkan mempekerjakan wanita dalam sebagian urusan zakat, terutama yang
berkaitan dengan wanita, dengan tetap menjaga syarat-syarat syar’i.
c. Para amil mendapatkan kompensasi
sesuai dengan pekerjaannya. Tidak diperbolehkan menerima suap, meskipun dengan
nama hadiah, seperti yang diriwayatkan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari
Muslim, “Sesungguhnya aku mempekerjakan kalian salah seorang di antaramu
melaksanakan tugas yang pernah Allah sampaikan kepadaku, kemudian datang
kepadaku dan mengatakan: ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku’, apakah ketika ia
duduk di rumah ayah ibunya akan ada hadiah yang menghampirinya?”
d. Para amil harus bersikap lunak
dengan para muzakki, meyakinkan apa yang menjadi kewajibannya, mendoakannya
ketika mengambil zakat, menetapkan para mustahiq, dan memberikan bagian mereka.[4]
4.
Mu’allaf
Mu’allaf
adalah orang-orang yang sedang dilunakkan hatinya untuk memeluk Islam, atau
untuk menguatkan Islamnya, atau untuk mencegah keburukan sikapnya terhadap kaum
muslimin, atau mengharapkan dukungannya terhadap kaum muslimin.
Terdapat
perbedaan pendapat ulama fiqih tentang bagian zakat bagi para mu’allaf setelah
wafatnya Rasulullah SAW. ulama Mazhab Hanafi dan Imam Malik berpendapat bahwa
mu’allaf tidak perlu lagi diberi zakat setelah wafatnya Rasulullah SAW, karena
posisi dan keadaan umat Islam sudah kuat. Alasan mereka adalah praktek yang
dilakukan Umar bin Khattab, Utsman bin affan, dan ali bin Abi Thalib ketika
ketiganya menduduki jabatan khalifah; mereka tidak memberikan bagian zakat kepada
mu’allaf. Akan tetapi jumhur ulama, termasuk al-Qadi Abdul wahab al-Maliki
(ahli fiqih Mazhab Maliki) berpendapat bahwa bagian zakat untuk mu’allaf itu
tetap berlaku dan diberikan kepada mereka sesuai dengan situasi, kondisi dan
kebutuhan[5].
5.
Memerdekakan
Budak
Zakat
dapat juga digunakan untuk membebaskan orang-orang yang sedang menjadi budak,
yaitu dengan:
a. Membantu para budak mukatab, yaitu
budak yang sedang menyicil pembayaran sejumlah tertentu untuk pembebasan
dirinya dari majikannya agar dapat hidup merdeka. Mereka berhak mendapatkannya
dari zakat.
b. Atau dengan membeli budak kemudian
dimerdekakan
Pada
zaman sekarang ini, sejak penghapusan sistem perbudakan di dunia, mereka sudah
tidak ada lagi. Tetapi menurut sebagian madzhab Maliki dan Hanbali, pembebasan
tawanan muslim dari tangan musuh dengan uang zakat termasuk dalam bab
perbudakan. Dengan demikian maka mustahik ini tetap akan ada selama masih
berlangsung peperangan antara kaum muslimin dengan musuhnya. Bahkan Mahmud
Syaltut (tokoh fiqih Mesir) menyatakan bahwa bagian zakat untuk memerdekakan
budak bdisa dipergunakan untuk menghindari suatu Negara dari perbudakan
ekonomi, cara berpikir dan politik[6].
6.
Orang-orang
yang berutang
Al-Gharim
adalah orang yang berhutang dan tidak mampu membayarnya. Ada dua macam jenis
gharim, yaitu:
a. Al-Gharim untuk kepentingan dirinya
sendiri, yaitu orang yang berhutang untuk menutup kebutuhan primer pribadi dan
orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, seperti rumah, makan, pernikahan,
perabotan. Atau orang yang terkena musibah sehingga kehilangan hartanya, dan
memaksanya untuk berhutang. Mereka dapat diberi zakat dengan syarat:
1) membutuhkan dana untuk membayar
hutang
2) hutangnya untuk mentaati Allah atau
untuk perbuatan mubah
3) hutangnya jatuh tempo saat itu atau
pada tahun itu
4) tagihan hutang dengan sesama
manusia, maka hutang kifarat tidak termasuk dalam jenis ini, karena tidak ada
seorangpun yang dapat menagihnya.
Al-Gharim diberikan sejumlah yang
dapat melunasi hutangnya.
b. Al-Gharim untuk kemaslahatan orang
lain, seperti orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang muslim yang
sedang berselisih, dan harus mengeluarkan dana untuk meredam kemarahannya.
Maka, siapapun yang mengeluarkan dana untuk kemaslahatan umum yang
diperbolehkan agama, lalu ia berhutang untuk itu, ia dibantu melunasinya dari
zakat.
7.
Sabilillah
Ibnul
Atsir berkata, kata Sabilillah berkonotasi umum, untuk seluruh orang yang
bekerja ikhlas untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan
kewajiban, yang sunnah dan kebaikan-kebaikan lainnya. Dan jika kata itu
diucapkan, maka pada umumnya ditujukan untuk makna jihad. Karena banyaknya
penggunaannya untuk konotasi ini maka sepertinya kata fisabilillah, hanya
digunakan untuk makna jihad ini (lihat Kitab An-Nihayah Ibnu Atsir).
Menurut
empat madzhab, mereka bersepakat bahwa jihad termasuk ke dalam makna fi
sabilillah, dan zakat diberikan kepadanya sebagai personil mujahidin. Sedangkan
pembagian zakat kepada selain keperluan zakat, madzhab Hannafi tidak sependapat
dengan madzhab lainnya, sebagaimana mereka telah bersepakat untuk tidak
memperbolehkan penyaluran zakat kepada proyek kebaikan umum lainnya seperti
majid, madrasah, dan lain-lain.
Pandapat
lain. Imam Ar Razi mengatakan dalam tafsirnya, “Sesungguhnya teks zhahir dari
firman Allah wa fii sabiilillah (وفي سَبيل الله) tidak hanya terbatas
pada para tentara saja. Demikianlah yang dirilis oleh Al-Qaffal dalam tafsirnya
dari sebagian ulama fiqih, bahwa mereka memperbolehkan penyaluran zakat kepada
seluruh proyek kebaikan seperti mengkafani mayit, membangun pagar, membangun
masjid, karena kata fi sabilillah berlaku umum untuk semua proyek kebaikan.
As-Sayyid
Siddiq Hasan Khan berkata, sabilillah artinya seluruh jalan yang menuju kepada
Allah. Sedangkan jihad –meskipun jalan terbesar kepada Allah– tetapi tidak ada
dalil yang mengkhususkan pembagian zakat hanya kepada mujahid. (lihat Ar-Raudhatun
Nadiyyah).
Rasyid Ridha berkata, sabilillah di
sana adalah kemaslahatan umum kaum muslimin yang digunakan untuk menegakkan
urusan dunia dan agama, bukan pada individunya. Yang utama dan pertama adalah
persiapan perang seperti pembelian senjata, perbekalan tentara, alat
transportasi, pemberangkatan pasukan… dan termasuk juga dalam hal ini adalah
mendirikan rumah sakit, membuka jalan, mempersiapkan para dai yang menyerukan
Islam, mengirimkan mereka ke daerah-daerah kafir (lihat Tafsir Al-Manar).
Syeikh
Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam Aqidah dan Syari’ah dalam hal ini
menyatakan, sabilillah adalah seluruh kemaslahatan umum yang tidak dimiliki
oleh seseorang dan tidak memberi keuntungan kepada perorangan. Lalu dia
menyebutkan, setelah pembentukan satuan perang adalah rumah sakit, jalan, rel
kereta, dan mempersiapkan para dai.
Syeikh
Hasanain Makhluf, Mufti Mesir, berfatwa tentang kebolehan menyalurkan zakat
kepada seluruh organisasi kebaikan Islam, bersandar kepada ungkapan Ar-Razi
dari Al-Qaffal dan lain-lain dalam memaknai kata fi sabilillah.
Dalam
Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb berkata, fi sabilillah adalah jalan luas
yang mencakup seluruh kemaslahatan jama’ah yang menegakkan kalimat Allah.
Kesimpulannya,
yang rajah (kuat) bahwa yang dimaksud dari firman Allah “fisabilillah”
adalah jihad seperti yang dimaksudkan oleh jumhurul ulama. Akan tetapi bentuk
jihad pada masa sahabat dan para ulama sesudahnya terbatas pada berperang.
Karena hukum Allah sudah berdiri tegak dan Negara Islam berwibawa. Adapun pada
zaman sekarang ini, bentuk jihad itu tampil dengan warna yang bermacam-macam
untuk menegakkan agama Allah, menyampaikan dakwah dan melindungi umat Islam.
Kami berpendapat bahwa sangat mungkin untuk menyalurkan zakat kepada
lembaga-lembaga modern seperti ini yang masuk ke dalam bab fisabilillah. Yaitu
jalan yang digunakan untuk membela agama Allah dan menjaga umat Islam, baik
dalam bentuk tsaqafah (wawasan), pendidikan, media, atau militer, dst. Dan
perlu ditegaskan di sini bahwa peperangan yang boleh dibiayai dengan zakat
adalah perang fisabilillah di bawah bendera Islam, untuk membela kepentingan
Islam dan dibawah komando pemimpin Islam.
8.
Ibnu
sabil
Menurut
jumhur ulama, ibnu sabil adalah musafir yang melakukan suatu perjalanan bukan
untuk maksiat dan dalam perjalanan itu mereka kehabisan bekal. Yusuf
al-Qardawi, setelah mendiskusikan beberapa ayat, mengatakan bahwa Al-qur’an
meneyebutkan yang disebut “perjalanan” yang disuruh dan dirangsang oleh Allah
SWT itu adalah:
a. Orang-orang yang melakukan
perjalanan untuk mencari rezeki (QS: 67: 15),
b. Para penuntut ilmu (QS: 29:20,
3:137, dan 22: 46),
c. Berjihad/perang dijalan Allah SWT
(QS: 9: 41 – 42 dan 121),
d. Melaksanakan haji ke Baitullah (QS:
3:97 dan 22: 27 – 28).
Oleh sebab itu Yusuf al-Qardawi
berpendapat bahwa ibnu sabil dalam kaitannya dengan zakat adalah seluruh bentuk
perjalanan yang dilakukan untuk kemaslahatan umum yang manfaatnya kembali pada
agama Islam atau masyarakat Islam.
Ibnu
sabil yang berhak menerima zakat menurut ulama fiqih haru memenuhi syarat:
a. Dalam keadaan membutuhkan,
b. Bukan perjalanan maksiat.
B.
Pendistribusian
Zakat
Persoalan utama yang dibahas ulama
fiqih dalam masalah ini adalah boleh tidaknya memberikan zakat kepada salah
satu golongan dari delapan golongan di atas. Dalam persoalan ini terdapat
perbedaan pendapat para ahli fiqih.
- Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat harus dibagikan kepada delapan kelompok itu dengan merata, kecuali jika salah satu kelompok itu tidak ada, maka zakat diberikan kepada ashnaf yang masih ada. Jika muzakki itu sendiri yang membagikan langsung zakatnya, maka gugur pula bagian amil.
- Madzhab Hanafi, Hanbali, dan Maliki berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada sebagian ashnaf, tidak kepada seluruh ashnaf yang ada. Bahkan mereka memperbolehkan pemberian zakat hanya kepada salah satu ashnaf saja sesuai dengan kondisi. Inilah pendapat mayoritas ulama dan pendapat yang paling kuat dengan memperhatikan hal-hal berikut ini:
a. Tidak diperbolehkan menghilangkan
hak salah satu mustahiq tanpa ada sebab, jika imam yang melakukan pembagian dan
jumlah zakat cukup banyak.
b. Diperbolehkan memberikan zakat hanya
kepada satu ashnaf saja jika ada kemaslahatan yang dapat
dipertannggungjawabkan, seperti ketika perang yang mengharuskan zakat untuk
pembiayaan mujahid di medan perang.
c. Ketika membagikan zakat kepada semua
ashnaf secara menyeluruh tidak diharuskan membagi rata kepada mereka. Dan yang
diwajibkan adalah memberikan bagian pada masing-masing sesuai dengan jumlah dan
kebutuhan.
d. Selalu diperhatikan bahawa kelompok
prioritas adalah fakir miskin. Kelompok yang diulang-ulang dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Maka tidak diperbolehkan menghalangi hak mereka dari zakat, kecuali
karena kondisi darurat sesaat.
e. Jika muzakki yang membagikan
langsung zakatnya dan jumlah zakatnya kecil, boleh diberikan kepada satu
kelompok dan satu orang saja untuk mencapai tujuan zakat, yaitu menutup
kebutuhan.
f. Jika imam yang membagikan, maka
bagian amilin tidak boleh lebih banyak dari seperdelapan, menurut Imam Syafi’i,
agar zakat tidak habis di tangan para pegawai saja[7].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar