Jumat, 22 Februari 2013
MUSTAHIQ ZAKAT DAN TATA CARA PENDRISTRIBUSIAN ZAKAT
BAB II
MUSTAHIQ DAN CARA PENDISTRIBUSIAN ZAKAT
A.
Mustahiq
Zakat
Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an Al Karim pada ayat berikut.
Sesungguhnya zakat-zakat itu
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang
yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah: 60)
Ayat ini dengan jelasmenggunakan kata “innama”, inimenunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang
lainnya[1].
1.
Fakir
Terdapat
perbedaan interpretasi ulama fiqih dalam mendefinisikan orang fakir (al-faqr,
jamaknya al-fuqara). Imam abu Hanifah berpendapat orang fakir adalah orang yang
tidak memiliki penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Adapun menurut jumhur ulama fakir adalah orang-orang yang tidak mempunyai harta
atau penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, tempat
tinggal, dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk keluarga dan orang-orang yang menjadi tanggungannya[2].
2.
Miskin
Dalam
mendefinisikan orang miskin (al-miskin, jamaknya al-masakin) pun, kedua
golongan ulama diatas berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, orang miskin
adalah orang yang memiliki pekerjaan tetap tetapi tiddak dapat mencukupi
kebutuhannya sehari-hari.
Jumhur
ulama mengatakan bahwa orang miskin adalah orang yang mempunya harta atau
penghasilan layak untuk memenuhi kebutuhan diri dan tanggungannya, tetapi
penghasilan tersebut tidak mencukupi.
Akan tetapi Imam Abu Yusuf dan Ibnu
Qasim (w. 918 M; tokoh fiqih Mazhab Maliki) tidak membedakan secara defenitif
kedua kelompok orang tersebut (fakir dan miskin). Menurut mereka, fakir dan
miskin adalah dua istilah yang mengandung pengertian yang sama.
Islam sangat memperhatikan nasib fakir dan
miskin ini. Hal ini terbukti dengan adanya ayat-ayat Al-Qur’an dan Hdits Nabi
yang menyuruh umat Islam memperhatikan nasib mereka. Bahakan Al-Qur’an
memandang orang yang tidak memperhatikan nasib fakir miskin sebagai pendusta
agama, sebagaimana tersebut dalam Surat Al-Ma’un ayat 1-3. Usaha-usaha Islam
untuk meningkatkan kesejahteraan fakir miskin antara lain ialah dengan
pemberian zakat kepada mereka.
Dan
fakir miskin adalah yang paling berhak menerima zakat diantara delapan asnaf[3].
3.
Amil
zakat
Yaitu
orang-orang yang bertugas mengambil zakat dari para muzakki dan
mendistribusikan kepada para mustahiq. Mereka itu adalah kelengkapan personil
dan finasial untuk mengelola zakat.
a. Termasuk dalam kewajiban imam adalah
mengutus para pemungut zakat dan mendistribusikannya, seperti yang pernah
dilakukan Rasulullah dan para khalifah sesudahnya.
b. Syarat orang-orang yang dapat
dipekerjakan sebagai amil pengelola zakat, adalah seorang muslim, baligh dan
berakal, mengerti hukum zakat-sesuai dengan kebutuhan lapangan- membidangi pekerjaannya,
dimungkinkan mempekerjakan wanita dalam sebagian urusan zakat, terutama yang
berkaitan dengan wanita, dengan tetap menjaga syarat-syarat syar’i.
c. Para amil mendapatkan kompensasi
sesuai dengan pekerjaannya. Tidak diperbolehkan menerima suap, meskipun dengan
nama hadiah, seperti yang diriwayatkan dalam sebuah hadits riwayat Bukhari
Muslim, “Sesungguhnya aku mempekerjakan kalian salah seorang di antaramu
melaksanakan tugas yang pernah Allah sampaikan kepadaku, kemudian datang
kepadaku dan mengatakan: ‘Ini untukmu dan ini hadiah untukku’, apakah ketika ia
duduk di rumah ayah ibunya akan ada hadiah yang menghampirinya?”
d. Para amil harus bersikap lunak
dengan para muzakki, meyakinkan apa yang menjadi kewajibannya, mendoakannya
ketika mengambil zakat, menetapkan para mustahiq, dan memberikan bagian mereka.[4]
4.
Mu’allaf
Mu’allaf
adalah orang-orang yang sedang dilunakkan hatinya untuk memeluk Islam, atau
untuk menguatkan Islamnya, atau untuk mencegah keburukan sikapnya terhadap kaum
muslimin, atau mengharapkan dukungannya terhadap kaum muslimin.
Terdapat
perbedaan pendapat ulama fiqih tentang bagian zakat bagi para mu’allaf setelah
wafatnya Rasulullah SAW. ulama Mazhab Hanafi dan Imam Malik berpendapat bahwa
mu’allaf tidak perlu lagi diberi zakat setelah wafatnya Rasulullah SAW, karena
posisi dan keadaan umat Islam sudah kuat. Alasan mereka adalah praktek yang
dilakukan Umar bin Khattab, Utsman bin affan, dan ali bin Abi Thalib ketika
ketiganya menduduki jabatan khalifah; mereka tidak memberikan bagian zakat kepada
mu’allaf. Akan tetapi jumhur ulama, termasuk al-Qadi Abdul wahab al-Maliki
(ahli fiqih Mazhab Maliki) berpendapat bahwa bagian zakat untuk mu’allaf itu
tetap berlaku dan diberikan kepada mereka sesuai dengan situasi, kondisi dan
kebutuhan[5].
5.
Memerdekakan
Budak
Zakat
dapat juga digunakan untuk membebaskan orang-orang yang sedang menjadi budak,
yaitu dengan:
a. Membantu para budak mukatab, yaitu
budak yang sedang menyicil pembayaran sejumlah tertentu untuk pembebasan
dirinya dari majikannya agar dapat hidup merdeka. Mereka berhak mendapatkannya
dari zakat.
b. Atau dengan membeli budak kemudian
dimerdekakan
Pada
zaman sekarang ini, sejak penghapusan sistem perbudakan di dunia, mereka sudah
tidak ada lagi. Tetapi menurut sebagian madzhab Maliki dan Hanbali, pembebasan
tawanan muslim dari tangan musuh dengan uang zakat termasuk dalam bab
perbudakan. Dengan demikian maka mustahik ini tetap akan ada selama masih
berlangsung peperangan antara kaum muslimin dengan musuhnya. Bahkan Mahmud
Syaltut (tokoh fiqih Mesir) menyatakan bahwa bagian zakat untuk memerdekakan
budak bdisa dipergunakan untuk menghindari suatu Negara dari perbudakan
ekonomi, cara berpikir dan politik[6].
6.
Orang-orang
yang berutang
Al-Gharim
adalah orang yang berhutang dan tidak mampu membayarnya. Ada dua macam jenis
gharim, yaitu:
a. Al-Gharim untuk kepentingan dirinya
sendiri, yaitu orang yang berhutang untuk menutup kebutuhan primer pribadi dan
orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, seperti rumah, makan, pernikahan,
perabotan. Atau orang yang terkena musibah sehingga kehilangan hartanya, dan
memaksanya untuk berhutang. Mereka dapat diberi zakat dengan syarat:
1) membutuhkan dana untuk membayar
hutang
2) hutangnya untuk mentaati Allah atau
untuk perbuatan mubah
3) hutangnya jatuh tempo saat itu atau
pada tahun itu
4) tagihan hutang dengan sesama
manusia, maka hutang kifarat tidak termasuk dalam jenis ini, karena tidak ada
seorangpun yang dapat menagihnya.
Al-Gharim diberikan sejumlah yang
dapat melunasi hutangnya.
b. Al-Gharim untuk kemaslahatan orang
lain, seperti orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang muslim yang
sedang berselisih, dan harus mengeluarkan dana untuk meredam kemarahannya.
Maka, siapapun yang mengeluarkan dana untuk kemaslahatan umum yang
diperbolehkan agama, lalu ia berhutang untuk itu, ia dibantu melunasinya dari
zakat.
7.
Sabilillah
Ibnul
Atsir berkata, kata Sabilillah berkonotasi umum, untuk seluruh orang yang
bekerja ikhlas untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan
kewajiban, yang sunnah dan kebaikan-kebaikan lainnya. Dan jika kata itu
diucapkan, maka pada umumnya ditujukan untuk makna jihad. Karena banyaknya
penggunaannya untuk konotasi ini maka sepertinya kata fisabilillah, hanya
digunakan untuk makna jihad ini (lihat Kitab An-Nihayah Ibnu Atsir).
Menurut
empat madzhab, mereka bersepakat bahwa jihad termasuk ke dalam makna fi
sabilillah, dan zakat diberikan kepadanya sebagai personil mujahidin. Sedangkan
pembagian zakat kepada selain keperluan zakat, madzhab Hannafi tidak sependapat
dengan madzhab lainnya, sebagaimana mereka telah bersepakat untuk tidak
memperbolehkan penyaluran zakat kepada proyek kebaikan umum lainnya seperti
majid, madrasah, dan lain-lain.
Pandapat
lain. Imam Ar Razi mengatakan dalam tafsirnya, “Sesungguhnya teks zhahir dari
firman Allah wa fii sabiilillah (وفي سَبيل الله) tidak hanya terbatas
pada para tentara saja. Demikianlah yang dirilis oleh Al-Qaffal dalam tafsirnya
dari sebagian ulama fiqih, bahwa mereka memperbolehkan penyaluran zakat kepada
seluruh proyek kebaikan seperti mengkafani mayit, membangun pagar, membangun
masjid, karena kata fi sabilillah berlaku umum untuk semua proyek kebaikan.
As-Sayyid
Siddiq Hasan Khan berkata, sabilillah artinya seluruh jalan yang menuju kepada
Allah. Sedangkan jihad –meskipun jalan terbesar kepada Allah– tetapi tidak ada
dalil yang mengkhususkan pembagian zakat hanya kepada mujahid. (lihat Ar-Raudhatun
Nadiyyah).
Rasyid Ridha berkata, sabilillah di
sana adalah kemaslahatan umum kaum muslimin yang digunakan untuk menegakkan
urusan dunia dan agama, bukan pada individunya. Yang utama dan pertama adalah
persiapan perang seperti pembelian senjata, perbekalan tentara, alat
transportasi, pemberangkatan pasukan… dan termasuk juga dalam hal ini adalah
mendirikan rumah sakit, membuka jalan, mempersiapkan para dai yang menyerukan
Islam, mengirimkan mereka ke daerah-daerah kafir (lihat Tafsir Al-Manar).
Syeikh
Mahmud Syaltut dalam bukunya Islam Aqidah dan Syari’ah dalam hal ini
menyatakan, sabilillah adalah seluruh kemaslahatan umum yang tidak dimiliki
oleh seseorang dan tidak memberi keuntungan kepada perorangan. Lalu dia
menyebutkan, setelah pembentukan satuan perang adalah rumah sakit, jalan, rel
kereta, dan mempersiapkan para dai.
Syeikh
Hasanain Makhluf, Mufti Mesir, berfatwa tentang kebolehan menyalurkan zakat
kepada seluruh organisasi kebaikan Islam, bersandar kepada ungkapan Ar-Razi
dari Al-Qaffal dan lain-lain dalam memaknai kata fi sabilillah.
Dalam
Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb berkata, fi sabilillah adalah jalan luas
yang mencakup seluruh kemaslahatan jama’ah yang menegakkan kalimat Allah.
Kesimpulannya,
yang rajah (kuat) bahwa yang dimaksud dari firman Allah “fisabilillah”
adalah jihad seperti yang dimaksudkan oleh jumhurul ulama. Akan tetapi bentuk
jihad pada masa sahabat dan para ulama sesudahnya terbatas pada berperang.
Karena hukum Allah sudah berdiri tegak dan Negara Islam berwibawa. Adapun pada
zaman sekarang ini, bentuk jihad itu tampil dengan warna yang bermacam-macam
untuk menegakkan agama Allah, menyampaikan dakwah dan melindungi umat Islam.
Kami berpendapat bahwa sangat mungkin untuk menyalurkan zakat kepada
lembaga-lembaga modern seperti ini yang masuk ke dalam bab fisabilillah. Yaitu
jalan yang digunakan untuk membela agama Allah dan menjaga umat Islam, baik
dalam bentuk tsaqafah (wawasan), pendidikan, media, atau militer, dst. Dan
perlu ditegaskan di sini bahwa peperangan yang boleh dibiayai dengan zakat
adalah perang fisabilillah di bawah bendera Islam, untuk membela kepentingan
Islam dan dibawah komando pemimpin Islam.
8.
Ibnu
sabil
Menurut
jumhur ulama, ibnu sabil adalah musafir yang melakukan suatu perjalanan bukan
untuk maksiat dan dalam perjalanan itu mereka kehabisan bekal. Yusuf
al-Qardawi, setelah mendiskusikan beberapa ayat, mengatakan bahwa Al-qur’an
meneyebutkan yang disebut “perjalanan” yang disuruh dan dirangsang oleh Allah
SWT itu adalah:
a. Orang-orang yang melakukan
perjalanan untuk mencari rezeki (QS: 67: 15),
b. Para penuntut ilmu (QS: 29:20,
3:137, dan 22: 46),
c. Berjihad/perang dijalan Allah SWT
(QS: 9: 41 – 42 dan 121),
d. Melaksanakan haji ke Baitullah (QS:
3:97 dan 22: 27 – 28).
Oleh sebab itu Yusuf al-Qardawi
berpendapat bahwa ibnu sabil dalam kaitannya dengan zakat adalah seluruh bentuk
perjalanan yang dilakukan untuk kemaslahatan umum yang manfaatnya kembali pada
agama Islam atau masyarakat Islam.
Ibnu
sabil yang berhak menerima zakat menurut ulama fiqih haru memenuhi syarat:
a. Dalam keadaan membutuhkan,
b. Bukan perjalanan maksiat.
B.
Pendistribusian
Zakat
Persoalan utama yang dibahas ulama
fiqih dalam masalah ini adalah boleh tidaknya memberikan zakat kepada salah
satu golongan dari delapan golongan di atas. Dalam persoalan ini terdapat
perbedaan pendapat para ahli fiqih.
- Imam Syafi’i berpendapat bahwa zakat harus dibagikan kepada delapan kelompok itu dengan merata, kecuali jika salah satu kelompok itu tidak ada, maka zakat diberikan kepada ashnaf yang masih ada. Jika muzakki itu sendiri yang membagikan langsung zakatnya, maka gugur pula bagian amil.
- Madzhab Hanafi, Hanbali, dan Maliki berpendapat bahwa zakat boleh diberikan kepada sebagian ashnaf, tidak kepada seluruh ashnaf yang ada. Bahkan mereka memperbolehkan pemberian zakat hanya kepada salah satu ashnaf saja sesuai dengan kondisi. Inilah pendapat mayoritas ulama dan pendapat yang paling kuat dengan memperhatikan hal-hal berikut ini:
a. Tidak diperbolehkan menghilangkan
hak salah satu mustahiq tanpa ada sebab, jika imam yang melakukan pembagian dan
jumlah zakat cukup banyak.
b. Diperbolehkan memberikan zakat hanya
kepada satu ashnaf saja jika ada kemaslahatan yang dapat
dipertannggungjawabkan, seperti ketika perang yang mengharuskan zakat untuk
pembiayaan mujahid di medan perang.
c. Ketika membagikan zakat kepada semua
ashnaf secara menyeluruh tidak diharuskan membagi rata kepada mereka. Dan yang
diwajibkan adalah memberikan bagian pada masing-masing sesuai dengan jumlah dan
kebutuhan.
d. Selalu diperhatikan bahawa kelompok
prioritas adalah fakir miskin. Kelompok yang diulang-ulang dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Maka tidak diperbolehkan menghalangi hak mereka dari zakat, kecuali
karena kondisi darurat sesaat.
e. Jika muzakki yang membagikan
langsung zakatnya dan jumlah zakatnya kecil, boleh diberikan kepada satu
kelompok dan satu orang saja untuk mencapai tujuan zakat, yaitu menutup
kebutuhan.
f. Jika imam yang membagikan, maka
bagian amilin tidak boleh lebih banyak dari seperdelapan, menurut Imam Syafi’i,
agar zakat tidak habis di tangan para pegawai saja[7].
MAKALAH
TENTANG
“PENDUSTA
AGAMA”
Di Presentasikan Pada Mata Kuliah
TAFSIR
II SEMESTER V
DOSEN PEMBIMBING:
H. NASBIN PANYAHATAN, LC, MA

Edisi
Revisi
DISUSUN
OLEH: DESRI KURNIA
NO.BP: 210.794
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM (STAI)
YAYASAN DAKWAH ISLAMIYAH
(YDI) PASAMAN
TAHUN AKADEMIK
2012/2013
KATA
PENGANTAR
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيمِ
Alhamdulillah, segala puji hanya milik
Allah SWT, berkat rahmat dan karunia dari Allah SWT penulis dapat
mempersembahkan makalah sederhana ini kehadapan kita semua. Shalawat berserta
salam selalu tercurah buat Baginda Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa
risalah Islam dari sisi Allah sebagai penunjuk jalan hidup sekalian ummat
manusia.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga
penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan ide dan gagasan
serta bimbingan terhadap penyelesaian makalah ini. Terutamasekali kepada dosen
pembimbing mata kuliah Tafsir II ini, dan juga teman-teman seperjuangan di lokal
I semester V PAI. Karena tanpa adanya bimbingan dan dukungan dari Bapak Dosen
dan teman-teman, sulit rasanya untuk menyelesaikan makalah ini.
Kemudian dari pada itu, penulis berharap
semoga kiranya makalah ini akan bermanfaat bagi para pembaca, terutama bagi
penulis sendiri dalam menambah wawasan keislaman kita. Dengan demikian akan
bertambah pula nilai keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT.
Sebagai insan yang dhoif, penulis
menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritikan dan saran yang membangun dari
para pembaca demi untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Wassalam
Lubuk Sikaping, Januari
2013
Penulis
PEMBAHASAN
A. QS Al-Ma’un dan Terjemahan
أَرَءَيْتَ الَّذِى يُكَذِّبُ بِالدِّين(1) فَذَلِكَ
الَّذِى يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلاَ
يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ(3) فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ(4)
الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَـتِهِمْ سَاهُونَ(5)
الَّذِينَ هُمْ يُرَآءُونَ(6)
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ (7)
1.Tahukah kamu (orang)
yang mendustakan agama? 2.Itulah orang yang menghardik anak yatim,3.dan tidak
menganjurkan memberi makan orang miskin. 4.Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5.(yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya,6.orang-orang yang berbuat riya, 7.dan enggan (menolong
dengan) barang berguna.
B. Ta’rif Istilah
1.
Anak yatim
Anak
yatim adalah orang yang telah kehilangan orang tuanya yang berperan sebagai
sandaran hidupnya, sedangkan ia masih belum baligh, dan belum mampu mengurus
urusannya sendiri.
2.
Miskin
Kata “miskin” mencakup
semua orang yang tidak berdaya karena sakit, usia renta, atau menjadi korban
perang, yang tidak mampu bekerja, atau mampu tetapi hasilnya tidak mencukupi
kebutuhan diri dan keluarganya. Mereka punya sedikit harta, tetapi masih
memerlukan bantuan. Jumhur
ulama mengatakan bahwa
orang miskin adalah orang yang mempunya harta atau penghasilan layak untuk
memenuhi kebutuhan diri dan tanggungannya, tetapi penghasilan tersebut tidak
mencukupi.
3. Riya
Riya adalah suatu sikap dimana seseorang
beribadah bukan senantiasa mengharap ridho Allah, namun ia beribadah hanya
mengahrapkan pujian dari orang lain.
4.
Lalai
Lalai berarti
seseorang yang mengerjakan suatu pekerjaan tetapi ia tidak mengerjakannya
dengan sepenuh hati, atau bahkan ia tidak menghadirkan hatinya sama sekali.
C. Tafsir
Sebab turunya surah ini ialah
berkenaan degan orang-orang munafik yang memamerkan shalat kepada orang yang
berirman; mereka melakukan shalat dengan riya’, dan meninggalkan apabila tidak
ada yang melihatnya serta menolak memberiakn bantuan kepada orang miskin dan
anak yatim ( Riwayat ibnu Mudzir ).
Surah
ini diawali dengan pertanyaan yang mengarah kepada setiap orang yang bias
melihat, agar menyaksikan: “Tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama?” dan menantikan orang yang mendengar pertanyaan
ini untuk melihat kemana isyarat itu diarahkan dan kepada siapa ditujukan?
Siapakah orang yang mendustakan agama dan siapakah orang yang ditetapkan
Al-Qur’an sebagai pendusta agama itu. Tiba-tiba jawaban itu menyatakan:[1]
فَذَلِكَ الَّذِى يَدُعُّ الْيَتِيمَ
وَلاَ يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ
الْمِسْكِينِ
“itulah
orang yang menghardik anak yatim, Dan tidak
menganjurkan member makan orang miskin”
Ustadz M Quraish Shihab dalam Tafsir
Al-quran Al karim menyatakan ayat tersebut tidak berbicara tentang kewajiban
”memberi makan” orang miskin, tapi berbicara ”menganjurkan memberi makan”. Itu
berarti mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun dituntut pula untuk
berperan sebagai ”penganjur pemberi makanan terhadap orang miskin” atau dengan
kata lain, kalau tidak mampu secara langsung, minimal kita menganjurkan
orang-orang yang mampu untuk memperhatikan nasib mereka.
Anak-anak yatim dan faqir miskin
adalah bagian dari kelompok masyrakat yang sangat dicintai oleh Rusulullah SAW,
bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan (Rusuluallah) sangat dekat dengan mereka.
Perhatian pada mereka sangat diutamakan, sebagaimana tersebut dalam sebuah
ayat:
وَيَسْـَلُونَكَ عَنِ
الْيَتَـمَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَنُكُمْ
Dan
mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim katakanlah; Mengurus urusan mereka
secara patut adalah baik, jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah
saudaramu”( Al-Baqarah: 220
).
Perkataan "yahudldlu" yang
diterjemahkan dengan "berjuang" di sini mempunyai asal arti "menganjurkan
dengan kuat". A. Hassan dalam Al-Furqan, menerjemahkan perkataan itu
dengan "menggemarkan," Departemen Agama menerjemahkan dengan
"menganjurkan" sedangkan Mahmud Yunus dalam tafsir Qur'an Karim
menggunakan perkataan "menyuruh". Dan Muhammad Asad, dalam The
Message of the Qur'an, menerjemahkannya dalam bahasa Inggeris dengan
"feels no urge" (tidak merasakan adanya dorongan), karena baginya
perkataan "yahudldlu" mempunyai makna "mendorong diri
sendiri" (sebelum mendorong orang lain).
Jadi, perkataan
"yahudldlu" menunjuk pada adanya komitmen batin yang tinggi, yakni
usaha mengangkat dan menolong nasib kaum miskin. Berarti bahwa indikasi
ketulusan dan kesejatian dalam beragama ialah adanya komitmen sosial yang
tinggi dan mendalam kepada orang bersangkutan.
Imam Bukhari dan Imam Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Hindarilah tujuh perkara yang membinasakan.
Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah SAW apakah itu?” Rasulullah SAW
bersabda: 1. Syirik, 2. Berbuat sihir, 3. Membunuh orang yang diharamkan oleh
Allah untuk dibunuh kecuali dengan alasan yang benar (menurut ajaran agama), 4.
Memakan riba, 5. Memakan harta anak yatim, 6. Berpaling di waktu peperangan
(bukan untuk bersiasat akan tetapi lantaran takut kepada musuh), 7. menuduh
zina kepada wanita mukmin yang sudah bersuami yang tidak terlintas di hatinya
untuk menjalankan kejelekan
Firman Allah SWT:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ
الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَـتِهِمْ سَاهُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu)
orang-orang yang lalai dari salatnya.
Kata wail bermakna: Siksa bagi mereka. Sebagian ahli tafsir berkata: mereka adalah
orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya, dan mereka tidak menunaikan
shalat kecuali setelah keluar waktunya. Diriwyatkan oleh Abu Ya’la di dalam
musnadnya, ia berkata: maksudnya adalah menyia-nyiakan waktu shalat, dia lalai
sehingga menyia-nyiakan waktu shalat.[2]
Kata Saad bin Abi Waqosh: Aku telah bertanya kepada
Rasulullah tentang mereka yang melalaikan sholatnya, maka beliau menjawab Yaitu
Mengakhirkan waktu, yakni mengakhirkan waktu sholat.
Dan ulama yang lain berkata: Mereka meninggalkan shalat dan
tidak pula menunaikannya. Penafsiran ini datang dari Ibnu Abbas. Dan ada yang
berkata: Mereka adalah orang-orang munafiq yang
meninggalkan shalat secara rahasia dan menjalankannya secara terang-terangan
saja.[3]
Ibnu Katsir rahimhullah berkata: Maksudnya adalah mereka selalu atau
biasanya meninggalkan shalat sampai akhir waktunya, atau mereka tidak
mengerjakan shalat dengan sempurna baik dalam rukun-rukunnya, syarat-syaratnya,
mereka tidak mengerjakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan, atau mereka
tidak khusyu dalam menjalankan shalat dan tidak pula merenungi makna yang
terkandung di dalamnya. Makna lafaz yang disebutkan oleh Al-Qur’an tersebut
mencakup semua makna ini. Maka setiap orang yang memiliki sifat seperti ini
berarti dia termasuk dalam bagian yang disebutkan di dalam ayat di atas, dan
barangsiapa yang memiliki prilaku seperti semua prilaku yang disebutkan di
dalam penafsiran ayat di atas maka sempurnalah bagiannya dalam keburukan
tersebut. Yaitu kesempurnaan nifaq yang bersiat amali, sebagaimana disebutkan
di dalam riwayat Muslim dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Itulah shalatnya orang munafiq, duduk
menunggu bulan, sehingga apabila telah sampai pada dua tanduk setan maka diapun
bangkit dan shalat dengan cepat empat rekaat, tidak menyebut Allah padanya
kecuali sedikit”.[4]
Allah SWT
berfirman:
إِنَّ
الْمُنَـفِقِينَ يُخـدِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُواْ إِلَى
الصَّلَوةِ قَامُواْ كُسَالَى يُرَآءُونَ النَّاسَ وَلاَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ
إِلاَّ قَلِيلاً
Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila
mereka berdiri untuk
salat,
mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia.
Dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali.(QS.
Al-Nisa’: 142).
Allah SWT berfirman;
فَخَلَفَ
مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُواْ الصَّلَـوةَ وَاتَّبَعُواْ الشَّهَوَتِ فَسَوْفَ
يَلْقُونَ غَيّاً
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek)
yang menyia-nyiakan
salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS.
Maryam: 59).
Para ulama mengomentari ayat diatas
dengan tafsirnya yang terdapat dalam Ibnu Katsir sebagai berikut :
1.
Muhammad
bin Kaab Al Quraan Al Qurdly, dan Ibnu Zaid bim Aslam dan Sady yang disebut
meremehkan sholat adalah Meninggalkan Sholat ( Tidak sholat )
2.
Al
Auz, Ibnu Maasud, Ibnu jarir, Ibnu Juraih meremehkan sholat adalah meremehkan
waktu
3.
Al
Hasan Al-Bashri, meremehkan sholat adalah meninggalkan Masjid[5]
Firman Allah
SWT:
الَّذِينَ
هُمْ يُرَآءُونَ وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“orang-orang yang berbuat ria. dan enggan
(menolong dengan) barang berguna”.
Artinya mereka tidak berbuat ihsan dalam beribadah kepada Tuhan mereka
dengan mewujudkan keikhlaskan dalam beribadah kepada Allah SWT, dan tidak pula
berbuat ihsan kepada makhluk-Nya walaupun dengan memberikan pinjaman barang yang bisa
dimanfaatkan, dan bisa digunakan untuk keperluan tertentu padahal wujud barang
tersebut tetap serta akan dikemblikan kepada mereka selaku pemilik, seperti
meminjam bejana, ember dan parang. Maka orang yang bertipe seperti ini akan
lebih gampang dalam meninggalkan zakat dan ibadah lainnya.
D. Pesan-Pesan yang Terkandung Dalam
Ayat
1. Pesan keimanan
Yang mana dalam Surah ini Allah SWT memberikan
sindiran bagi orang-orang yang bereiman agar mereka sungguh-sungguh dalam
beribadah kepada-Nya. Dan anjuran untuk ikhlas dalam beramal dan waspada terhadap riya dan sum’ah.
2. Pesan pendidikan
Pesan pendidikan yang terdapat dalam ayat ini
adalah, ketika Allah SWT mendidik kita untuk senantiasa mau berbagi dengan saudara-saudara
kita khususnya mereka yang membutuhkan uluran tangan kita.
3. Pesan moral
Adapu pesan moral dalam surah ini adalah, kita
disuruh oleh Allah untuk menghargai sesame saudara kita, dan jangan menganggap
remeh kepadanya, terutama kepada anak-anak yatim dan fakir miskin.
4.
Pesan social
Kita dianjurkan untuk terus peduli
terhadap sesame muslim khususnya kepada anak-anak yatim
dan fakir miskin.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Musnad
Abu Ya’la
Ø Qutb,
Sayyid, 2006, Terjemahan Tafsir Fi
Zhilalil-Qur’an, Jakarta: Robbani Press.
Ø Shahih
Muslim
Ø Tafsir
Ibnu Katsir
Langganan:
Postingan (Atom)