Jumat, 07 Juni 2013

MAKALAH TENTANG HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU’



HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU’
 Disusun oleh :Desri Kurnia, Dkk.
Wudhu’ adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan sholat. Sah atau tidak sholat, sangat bergantung pada wudhu’ disamping syarat-syarat lainnya. Oleh karena itu masalah wudhu’ ini  supaya diperhatikan benar, sehingga sholat yang dikerjakan tidak sia-sia.
Mengenai hal-hal yang membatalkan wudhu’, terdapat perbedaan pendapat para ulama mujtahid. Berikut adalah hal-hal yang membatalkan wudhu’, dan ikhtilaf ulama didalamnya:
A.    KELUAR SESUATU DARI DUA JALAN
Keluar sesuatu dari dua jalan (qubul= kemaluan dan dubur= pelepasan), seperti buang  air kecil, buang air besar, keluar madzi (air kuning encer yang biasanya keluar dari qubul ketika seseorang merasakan nikmat), wadzi (air kental dan putih, serupa dengan air mani, biasanya keluar setelah kencing), mani, angin dan lain-lain[1].
Sebagai dalilnya adalah firman Allah:

“…atau kembali dari tempat buang air…” (An-Nisa’: 43)
Rasulullah SAW. bersabda:


“Allah tidak menerima sholat seseorang apabila dia berhadats (keluar sesuatu dari qubul atau dubur), sebelum dia berwudhu’” (HR: Muttafaq Alaih).
Nabi juga memerintahkan berwudhu’ kepada wanita yang sedang istihadhah ( semacam darah penyakit) pada tiap-tiap akan sholat setelah membersihkannya, dan tidak usah mandi.
a.       Menurut imam Hanafi, apapun yang keluar dari qubul dan dubur, membatalkan wudhu’, baik  yang biasa mauopun yang tidak biasa.
b.      Menurut Malikiyah, bahwa batu kecil, ulat, cacing, darah dan nanah yang keluar dari qubul dan dubur  tidak membatalkan wudhu’ dengan ketentuan, batu kecil (batu ginjal), ulat dan cacing itu berasal dari dalam perut. Namun apabila batu atau ulat itu tidak berasal dari dari dalam perut , seperti tertelan, kemudian keluar melalui dubur,  ia membatalkan wudhu’.
c.       Syafi’iyah berpendapat, keluar  mani tidak sampai membatalkan wudhu’,. Namun wajib mandi.
d.      Hanabilah berpendapat, bahwa apabila seseorang terus menerus berhadats, seperti air kencing terus-menetes, atau sebentar-sebentar menetes, tidak membatalkan wudhu’ asal setiap sholat melakukan wudhu’.
B.     HILANG AKAL
Hilang akal bisa disebabkan gila, ayan, pingsan, mabuk, minum obat tidur atau tidur nyenyak sehingga hilang kesadaran seseorang.
Mengenai hilang akal karena gila, pingsan dan mabuk telah sepakat ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah membatalkan wudhu’, karena seseorang tidak tahu apakah ia berhadats atau tidak, seperti keluar angin dan sebab lainnya yang membatalkan wudhu’.
Mereka berbeda pendapat mengenai orang yang tidur.
a.       Hanafiyah berpendapat, bahwa tidur itu sendiri tidak membatalakan wudhu’ tetapi cara orang itu tidur yang perlu diperhatikan.
1)      Ia idur dengan berbaring miring
2)      Ia tidur telentang di atas punggungnya
3)      Ia tidur diatas salah satu pangkal pahanya
Wudhu’ seseorang menjadi batal, apabila dia tidur seperti yang disebutkan diatas. Sebagaimana sabda Rasulullah:


Sesungguhnya wudhu’ itu tidak wajib kecuali bagi orang yang tidur dalam keadaan berbaring, karena bila dia tidur berbaring, maka menjadi lunaklah (ruas-ruas) persendiannya.” (HR: Abu Daud, Tarmidzi dan Ahmad)
Hanafiyah menyamakan tidur berbaring dengan tidur telentang dan tidur di atas salah satu pangkal paha, karena persendiannya lunak, dan tidak dapat mengontrol apakah ia buang angin atau tidak.
Kemudian mereka mengatakan wudhu’ seseorang tidak batal, sekiranya dia tidur duduk tegak tidak bergeser dari tempat duduknya, sejak dari mulai tidur sampai terjaga. Hal ini didasarkan keyakinan, bahwa persendiannya tidak merenggang yang memungkinkan dia berhadats (buang angin).
b.      Malikiyah berpendapat, bahwa tidur itu dapat membatalkan wudhu’ apabila seseorang tidurnya nyenyak, baik sebentar bmaupun lama, baik dalam keadaan berbaring, duduk, maupun sujud. Wudhu’ tidak batal, apabila seseorang tidur tidak nyenyak (tidur ringan).
c.       Syafi’iyah berpendapat bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila orang itu tidak mantap duduk di tempatnya. Apabila duduknya mantap, tidak bergeser dan tidak renggang, maka wudhu’nya tidak batal. Demikian juga, wudhu’ seseorang tidak batal, sekiranya hanya sekedar mengantuk saja dan suara di sekitar masih disengarnya, walaupun tidak memahamminya dengan sempurna.
d.      Hanabilah berpendapat, bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila dia tidur dalam keadaan bagaimanapun.


C.     BERSENTUHAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN
Sentuhan dalam bahasa Arab disebut             dan
Oleh syafi’iyah dan hanabilah kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama. Berbeda dengan Hanafiyah dan Malikiyah, kedua istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri.
a.       Hanafiyah berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan tidak membatalkan wudhu’.
b.      Hanafiyah mendaarkan mazhab mereka kepada hadits Aisyah:


“Rasulullah mencium sebagian istri-istrinya, lalu sholat tanpa wudhu’ lagi” (HR: Ahmad dan empat Ahli Hadits).
Juga berdasarkan hadits Aisyah:
“Sesunggguhnya Rasulullah SAW  menciumnya dan saat itu beliau sedang puasa lalu beliau bersabda: ciuman ini tidak membatalakan wudhu’ dan tidak pula membatalakan puasa”. ( Dikeluarkan oleh Ishak bin Rahawaih dan Bazzar)

Mengenai firman Allah dalam surat an-Nisa’: 43 yang berbunyi:
(atau jika kamu menyentuh wanita).
Maksudnya adalah “bersenggama”, kata kiasan dari              (sentuh menyentuh). Pengertian ini diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas. Berdasarkan berita yang diterima dari Ubaid bin Humaid, bahwa Ibnu Abbas menafsirkan kata dalam ayat tersebut dengan “bersenggama=bersetubuh”.[2]
Malikiyah berpendapat bahwa apabila seseorang menyentuh orang lain dengan tangannya atau dengan angota badan lainnya, maka wudhu’nya batal dengan beberapa syarat:
Persyaratan bagi yang menyentuh adalah , dia suadah baligh dan bermaksud merasakan nikmat atau ada rangsangan dalam dirinya. Orang yang disentuh, wudhu’nya menjadi batal , apabila kulitnya disentuh  tanpa ada batas penghalang seperti kain, ataupun batasnya ada tetapi terlalu tipis. Persyaratan lain bagi yang disentuh adalah oadalah orang yang dapat mengundang syahwat atau ada rangsangan, bersentuhan dengan  gadis kecil tidak membatalkan wudhu’. Demikian juga wudhu’ tidak batal jika menyentuh wanita tua yang tidak mengundang syahwat.
Jadi hal yang menjadi persoalan inti dalam mazhab Malik ini adalah adanya rangsangan (syahwat), baik bagi yang menyentuh maupun yang disentuh.
c.       Syafi’iyaH berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan mahram akan membatalkan wudhu’ secara mutlak walaupun tiodak merasakan nikmat. Apakah laki-laki dan wanita itu sudah berusia lanjut atau masih muda.
Oleh golongan Syafi’iyah dikatakan wudhu’ menjadi batal apabila sentuhan itu langsung dengan kulit, dan tidak ada batas penghalang seperti kain. Syafiiyah mengecualikan menyentuh rambut kuku dan gigi tidak membatalkan wudhu’.
Menurut Syafi’iyah wudhu’ juga menjadi batal  apabila menyentuh mayat, karena golongan ini tidak melihat pada adanya rangsangan atau tidak seperti pada golongan Malikiyah.
d.      Hanabilah berpendapat bahwa wudhu’ seseorang menjadi batal apabila bersentuhan disebabkan adanya syahwat dan tanpa batas penghalang. Golongan ini tidak membedakan wanita mahram atau tidak, hidup atau mati, tua atau muda, besar atau kecil.

D.    SESUATU YANG KELUAR DARI TUBUH BUKAN DARI DUA JALAN
Sesuatu yang keluar dari tubuh seperti nanah, darah dan najis dapat membatalkan wudhu’ menurut segolongan ulama dan tidak membatalkan menurut pendapat lain.
a.       Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa sesuatu yang keluar selain dari qubul dan dubur, tidak membatalakan wudhu’.

“Sesungguhnya Nabi pernah berbekam , kemudian beliau sholat tanpa wudhu’ lebih dahulu” (Dikeluarkan oleh Daruqutni).
b.      Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa sesuatu yang keluar dari tubuh selain qubul dan dubur dapat membatalkan wudhu’. Hanabilah mengatakan batal wudhu’ bila yang keluar itu banyak menurut pendapat umum. Sedangkan Hanafiayah mengatakan batalnya wudu’ bila yang keluar itu mengalir dari tempat keluarnya.

“Siapa saja (sewaktu sedang sholat) muntah, mimisan, mengeluarkan dahak, atau madzi, hendakalah ia berpaling lalu berwudhu’, kemudian meneruskan sholatnya kembali dan dalam melakukan itu semua ia tidak boleh berkata-kata”. (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah).

E.     MENYENTUH KEMALUAN
Menyentuh kemaluan sendiri dan kemaluan orang lain dalam hal batal tidaknya wudhu’ terdapat perbedaan pendapat.
a.       Hanafiyah berpendapat, bahawa menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu’ apakah menyentuh kemaluan sendiri atau kemaluan orang lain.
Mereka berpegang kepada hadits:


Seseorang bertanya kepada Nabi: “saya menyentuh kemaluan saya sendiri atau katanya seseorang menyentuh kemaluannya sewaktu sholat, haruskah ia berwudhu’? Nabi menjawab: “Tidak, sesungguhnya ia (kemaluan) adalah bagian dari tubuhmu” (HR: Lima Ahli Hadits dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban).
Juga berdasarkan riwayat Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Amran bin Hushin, Huzaifah bin al-Yaman, Abi Darda dan Abu Hurairah, mereka menganggap tidak batal menyentuh kemaluan.
b.      Malikiyah berpendapat bahwa seseorang yang menyentuh kemaluan, wudhu’nya menjadi batal dengan ketentuan sebagai berikut:
1)      Orang itu menyentuh kemaluan sendiri
2)      Orang itu sudah baligh.
3)      Sentuhan tanpa batas penghalang.
4)      Sentuhan dengan bagian dalam telapak tangan, atau bagian tepi telapak tangan, atau bagian dalam jemari, atau bagian tepi jemari atau ujung dari tangan.
Malikiyah memandang wudhu’ tidak batal bila seseorang menyentuh duburnya atau pelirnya atau wanita menyentuh kemaluannya, atau memasukkan jari-jarinya ke dalam kemaluannya.
c.       Syafi’iyah berpendapat bahwa menyentuh kemaluan sendiri dan kemaluan orang lain, membatalkan wudhu’ bahkan menmyentuh kemaluan mayat pun membatalkan wudhu’.


“Siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu’” (HR: Lima Ahli Hadits).
Sabda Rasulullah:

Siapa saja laki-laki yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu’, dan siapa saja wanita yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu’” (HR: Ahmad).
Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian terdahulu, bahwa menyentuh wanita tanpa batas penghalang membatalkan wudhu’. Menyentuh kemaluan tentu sudah termasuk dalam pengertian diatas, baik kemaluan anak klecil maupun orang mati.
d.      Hanabilah pendapat mereka sama dengan Syafi’iyah, dan  yang berbeda adalah sentuhan dengan belakang telapak tangan pun membatalakan wudhu’, sedangakan Syafi’iyah sentuihan dengan telapak tangan bagian dalam membatalkan wudhu’, dengan belakang telapak tangan tidak.


F.      TERTAWA
Tertawa terbahak-bahak membatalakan sholat dan wudhu’ menurut Hanafiyah bila dilakukan dalam sholat, namun bila diluar sholat tidak membatalkan. Sedangkan menurut mazhab Syafi’iyah, Malikiyah, Hambaliyah, Imamiyah, Jabir bin Abdullah  dan Abu Musa al-Asy’ari, tidak membatalkan wudhu’ baik itu dilakukan dalam sholat maupun diluar sholat[3]. Namun para ahli fikih sepakat bahwa tertawa terbahak-bahak membatalkan sholat.
G.    MEMANDIKAN MAYAT
Menurut hHanabilah, seseorang yang memandikan mayat wudhu’nya batal, berdasarkan hadits Aisyah:


Rasulullah SAW mandi karena empat sebab: karena janabah, hari jum’at, berbekam dan karena memandikan mayat” (HR: Abu Daud, Ahmad dan Baihaqi).
Juga berdasarkan keterangan yang mengatakan bahwa Ibnu Umar  dan Ibnu Abbas memerintahkan orang yang memandikan mayat supaya berwudhu’. Batalnya wudhu’ seseorang bila ia secara langsung memandikan amyat, dan tidak batal kalau hanya sekedar hanya membantu mengguyurkan air saja.
H.    MURTAD
Murtad yaitu keluar dari agama Islam dan berarti orang itu kafir. Murtad adakalanya dengan perbuatan, keyakinan dan ucapan. Murtad adapat membatalkan wudu’, karena ia menghapuskan semua amal, sedangkan wudhu’ termasuk juga kedalam kategori amal. Allah berfirman:


Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan dihapuslah amalmu… (Az-Zumar: 65).
Menurut Hanafi dan Syafi’I, murtad tidak membatalakan wudhu, berbeda dengan mazhab Hanbali, murtad itu membatalkan wudhu’.
I.       MEMAKAN DAGING UNTA
Menurut mazhab Hanabilah, makan daging unta dapat membatalkan wudhu’[4].


seorang laki-laki bertanya kepada Nabi: “Apakah kami harus berwudhu’ karena memakan daging kambing?” Ya jika kamu suka, “Jawab Nabi. Apakah kami harus berwudhu’ karena makan daging unta? Tanyanya lagi. Beliau menjawab: “Ya” (berwudhu’lah” (Dikeluarkan oleh Muslim)

Sedangkan menurut mazhab Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah dan Imamiyah tidak membatalkan wudhu’.
J.       RAGU BERWUDHU’
Menurut mMalikiyah orang yang yakin ia berwudhu’ atau berat dugaan ia masih suci, kemudian ia ragu, maka ia wajib berwudhu’. Kemudian apabila yakin seseorang berhadats, kemudian ia ragu ia masih suci, maka ia harus berwudhu’. Berbeda dengan jumhur selain Malikiyah, bahwa wudhu’ tidak batal sekiranya sudah yakin ia berwudhu’[5]. Sebab sesuatu yang sudah diyakini, tetap berpegang kepada yang diyakini, jangan berpegang kepada yang ragu. Juga berpegang kepada kaidah:

Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.


[1] M. Ali Hasan,Perbandingan Mazhab Fiqh, Raja Grafindo Persada. Jakarta, cet. Ke-2. 2002, hal. 35.
[2] Ibid, hal. 41.
[3]                               , Fiqih Perbandingan Lima Mazhab, Penerbit Cahaya, Jakarta. Cet.ke-1, jilid I. 2007, hal. 196.
[4]  Ibid.
[5] Op.cit, hal. 52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar